Bab 48. The Man

6.7K 598 19
                                    

BAB 48. THE MAN


Evan bergegas meloncat dari motor sportnya secara gesit. Berlari-lari kecil menuju ruangan yang telah diberitahukan Jonathan sebelumnya. Ruangan itu terletak lumayan jauh dari tempat Evan memarkirkan motornya. Rasanya sudah tak sabar mendengar penjelasan Jonathan tentang sebab Jena bisa masuk rumah sakit. Ia berharap cewek itu tak terlalu kehilangan banyak darah, meskipun—seperti yang Hani bilang kalau—Jena adalah salah satu penderita hemofilia yang beruntung karena bisa bertahan hidup sampai sejauh ini.

Angin seolah berhenti berhembus saat matanya menemukan Jonathan sedang duduk di bangku sembari tertunduk lesu. Di sampingnya ada Hani—bunda Jena—sibuk menidurkan adik Jena yang usianya sepuluh tahun. Perempuan paruh baya itu mendongak ketika Evan menghampiri mereka.

"Tante Hani?" sapa Evan khawatir, lalu menyalami Hani. Evan tidak bisa menyembunyikan raut muka khawatirnya tatkala ia duduk di samping Jonathan. "Jena belum sadar?"

Hani menggeleng pelan dan tangannya tetap mengelus rambut Deva, "Belum, dokter juga belum keluar dari ruangan Jena."

Sudah sekitar satu jam mereka duduk di kursi depan ruangan Jena. Hani sebelumnya sempat terisak saat mengetahui Jena mengalami pendarahan di belakang kepalanya. Jonathan tentu saja tidak secara gamblang memberitahu siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini. Yang pasti ia tadi bilang: "Orangnya biar saya yang ngurus,". Mendengar semua itu, Hani bisa menarik napas lega.

"Lo datang juga akhirnya," Tambah Jonathan yang mendadak bangkit dari posisinya. Cowok itu mengucek mata pelan sebelum menyunggingkan senyum tipis. Matanya sudah terlihat merah, pertanda kalau dia sangat membutuhkan istirahat. "Kali ini kita damai."

"Oh ya, kalian udah izin sama orang tua kalian belum?" Tanya Hani.

Sementara Jonathan terus saja menguap, mengangkat tangan ke udara seperti pasrah. "Udah Tant, Mama saya ngizinin kok kalo saya jagain Jena."

"Sa-saya juga udah." Bohong Evan, agak tergugup. Karena ia memang pergi begitu saja dari rumah tanpa sepengetahuan mamanya, dan hanya kepada Anne ia memberitahu tujuannya. Berharap saja, Anne takkan buka mulut.

"Baguslah, kalo mama kalian ngizinin." Hani tersenyum. "Tante minta doa dari kalian ya supaya Jena bisa cepet pulih."

Evan dan Jonathan spontan mengangguk.

"Halo..."

Terdengar seseorang menyapa mereka, tepatnya dari arah belakang. Kontan, keempat orang itu menengok ke sumber suara. Deva yang sedang tertidur pun mendadak terbangun dan berlarian ke arah orang itu. Dia pria. Berbadan tegap dan berusia sekitar 45 tahunan, tersenyum lebar. Membawa sekantung besar makanan dan beberapa cup mie instan, untuk bekal makanan mereka semalaman ini. Namun senyumannya seakan pudar saat bertatap muka dengan Evan. Sebaliknya dengan cowok itu yang langsung mengepal erat lengannya, ditambah menggemeletukkan giginya. Keduanya terlihat saling memandang tajam satu sama lain.

Lelaki itu. Erwin. Terlihat santai dan bahagia menemani bundanya Jena di sini. Tampaknya ia harus segera memberitahu Anne tentang keberadaan ayahnya.

"Om Erwin?" Ketus Evan pada pria dengan mie cup yang diapit di lengannya.

Erwin tak membalas pertanyaan Evan, malah bertanya pada Hani ramah. Deva pun kembali duduk di pangkuan bundanya seraya menggoyang-goyangkan kaki. "Ini makanannya, uangnya dari saya saja."

Jena And JoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang