Rebirth

2K 70 0
                                    

Berapa lama iblis ini tertidur? Jika kehadiranku hanya membantunya untuk terbangun. Aku rasa lebih baik berlari, karena dia terlalu mengerikan untuk didekati.

    Natly gemetar, ia tak mampu merasakan tubuhnya. Pria di hadapannya seakan sudah menebar racun mematikan melalui napas yang ia hembuskan. Bertanya-tanya, apa yang membuat pria di hadapannya bersikap seperti itu. Tatapannya sama seperti malam itu, dingin, dalam. Sarat kejahatan dan mengandung banyak pertanyaan. Sependar hazel Navin begitu menusuknya, membuatnya merasa sedang di hadapkan dengan iblis mengerikan. Lidahnya yang terkutuk pun masih saja membisu, bibirnya bergetar tak mampu memanggil dan menyadarkan pria di hadapannya.
"Nat!" Sapa Navin dengan suara yang memberat. "Hmh?" Saat Natly mengedipkan matanya yang bergetar begitu Navin menyebut namanya, ia pikir ketegangan akan berakhir di sana; namun ternyata tidak. Navin yang mendekatkan tangannya untuk menyentuh wajahnya jauh lebih menegangkan.
    Natly yang masih saja terpaku tak mengerti, apa yang sedang terjadi di sini. Melihat Navin bersikap selembut itu membuatnya luluh, namun takut dalam waktu yang sama. Karena Natly tak bisa berhenti menanyakan, manakah Navin yang sesungguhnya.

"Vin!" Natly dengan tenaga yang tak seberapa itu pun menyebut nama Navin, namun pria itu tak menjawabnya. Navin justru malah mendekatkan wajahnya dan mulai menyentuh bibirnya. Saat Navin mencoba menerobos ke dalam mulut Natly, wanita itu menarik tubuhnya menjauh dari Navin. "What's gotten into you?" Tanyanya tanpa nada yang terdengar menyudutkan.
"I don't even know. Biarkan begini untuk beberapa saat." Jawab Navin lemah, dengan pandangan yang mendadak kosong. "Kalau begini caranya. Lo bisa jatuh cinta sama gue nantinya!" Gurau Natly. "Gue, atau lo?!" Goda Navin dengan senyuman kejinya. Namun Natly sudah tak takut lagi, ia tak peduli yang mana Navin yang sesungguhnya. Ketika siang menemaninya berjalan-jalan dan menemaninya berbelanja alat-alat rias, atau saat malam itu, pun sekarang. Jika Navin membutuhkan Natly hanya untuk sebuah kepuasan, apa yang harus disalahkan? Toh Natly pun merasa demikian, hatinya bukan untuk Navin. Namun bukan berarti mereka berdua tidak bisa saling menjaga dan memberikan kenyamanan pada satu sama lain. 

Dalam setiap sentuhan yang Navin berikan pada Natly, Navin tak mampu memikirkan apa-apa selain wajah Bella yang terlintas dalam benaknya. Ia ingin membayangkan wajah gadis itu, sebanyak yang ia mau. Memainkan Natly dengan gemulai, semakin intens dan mulai merebahkannya pada tempat tidur, lalu menganggap bahwa itu adalah Bella. Sebut Navin bajingan, ia pun sadar. Namun sungguh! Navin hanya tidak ingin mempedulikan apa-apa lagi. Jika harus memiliki Bella dalam imajinasi saja, maka biarlah.

Sempat terlintas dalam benak Navin. Kapan terakhir kali ia menelanjangi seorang wanita? Apa yang membuatnya ingin melakukan hal itu? Mencumbu seorang gadis yang tak ia cintai sama sekali, dan memperlakukannya bagaikan seorang hidung belang yang rakus akan perempuan. Apa yang ia dapat, jika ia meneruskan sentuhannya semakin jauh? Entahlah, yang kini ada di benaknya hanyalah Bella, Bella yang memenuhi setiap bagian dalam dirinya. Bella yang membuatnya tak mampu berpikir apapun selain dirinya.

Tak terasa, sentuhan mereka berdua semakin jauh. Bahkan keduanya sudah tidak berbusana. Navin memperhatikan lekuk tubuh gadis yang berbaring di hadapannya. Natly memang memiliki paras yang rupawan, bentuk tubuh yang ideal, dan kelebihan lainnya adalah mampu mengerti dirinya. Jadi untuk beberapa saat saja, untuk malam ini saja, Navin meminta pada hati kecilnya; biarkan ia melakukan hal itu untuk beberapa saat. Dan mengutuk dirinya sendiri sebagai seorang 'bajingan' nantinya.

Bell, am I bad enough now?

Natly yang dimanjakan oleh Navin hanya diam mempersilahkan segala kelembutan. Natly mampu merasakan setiap getaran dan hentakan Navin yang begitu membuatnya takjub. Untuk sesaat, Natly merasa benar-benar sudah dibuat melayang oleh pria itu, namun. Rasa takut itu kembali terlintas, Natly merasa bahwa dirinya telah membangunkan sesosok iblis menyeramkan dalam diri Navin saat ia membuka mata dan mendapati Navin sedang menatapnya dengan air muka yang tak bisa dibacanya. Sependar hazle itu terlihat berkilau memberikan kesan menakutkan. Namun tak lama, Navin yang begitu lihainya mampu mengikis kembali ketakutannya.
    Usai bergumul dengan Navin, Natly mengajak pria itu untuk membasuh diri. Mereka merebahkan tubuhnya bersama ke dalam bathtub. Natly menyandarkan punggungnya pada dada Navin yang bidang dan terasa kekar, memberinya kepercayaan bahwa ia akan aman berlindung di sana. Sedang Navin yang merasakan kulit bagian punggung Natly yang begitu halus dan lembut, memejamkan matanya. Mengelus bahu Natly dan mendaratkan satu ciuman pada punggung wanita itu. Setelah sekian lama, Navin merasa cukup damai. Meskipun kepalanya tetap diisi oleh Bella saja. "Lo kenapa?" Tanya Natly yang masih berharap mendapatkan kebenaran. "Huh?"

"Kenapa tiba-tiba melakukan itu?"
"Don't even ask! I'm a guy." Dustanya. "Let me guess! Merasa gak sanggup menghadapi perasaan lo tentang Bella, atau lo ingin melakukan hal itu, karena lo anggap bahwa gue ini adalah Bella? Yang mana itu?" Natly kembali mengejutkan Navin. Pria itu benar-benar dibuat bisu oleh wanita yang berada dalam pelukannya. Ada rasa jengkel, mengapa Natly selalu bisa menebak apa yang sedang ia pikirkan, apa yang ia rasakan. Namun lagi, itulah hal yang membuat Navin enggan mengakhiri perkenalan dengan Natly begitu singkat. Navin ingin perkenalan mereka berakhir selama yang ia mau; mereka mau.

"Kalau gue jawab iya, apa lo akan tersinggung? Karena gue sudah berani berbuat sejauh ini, sedangkan pikiran gue dikuasai oleh wanita lain?" Tanya Navin yang enggan berdusta, ia pun sudah tahu. Sungguh! Bahwa Natly tidak akan tersinggung akan hal itu.
    "Saat gue jelajahi bagian tubuh lo satu persatu. Memang, yang gue bayangkan adalah wajah dan tubuh Bella. Karena di saat yang bersamaan pula, otak dan perasaan gue sedang dipenuhi oleh gadis itu." Sambungnya cukup lama.

"Now I get it! Terkadang gue juga suka begitu. Walaupun gak sejauh itu sih." Jawab Natly dengan kejujurannya. Menurut Natly, karena alasan apapun Navin melakukan hal itu, ia tidak merasa keberatan. Baginya, ia tidaklah lebih hanya sedang membantu seorang pria yang ingin meluapkan luka melalui sentuhan tangan yang menjamahi tubuhnya dengan lembut. Jika dengan begitu Navin mampu merasa jauh lebih baik; maka lakukanlah. "Maksudnya?" Tanya Navin yang mengerutkan keningnya.
"Kadang gue suka berkhayal. Cowok yang gue suka, satu kerjaan lagi sama gue, dia terus memandangi tubuh gue yang dibalut gaun idah. Dia memperhatikan gue diam-diam dari balik kameranya. Dan di saat gue mau pulang karena job sudah selesai, dia memanggil nama gue dan. Ooh no! It drives me crazy," Natly yang berteriak karena malu sendiri pun hanya menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Eeeh, why? Lanjutin donk!" Pinta Navin menggoda, sedang tangan sibuk menyelipkan rambut Natly ke belakang telinganya.

"Pas gue mau pulang, terus dia samperin gue dan ajak dinner! Aaaw." Navin menertawakan Natly dengan imajinasinya, yang dibuat gila oleh pria yang dicintainya. Bagi Navin, hal itu membuat Natly terlihat sangat menggemaskan. Kesan seksi yang melekat dalam dirinya mendadak hilang karena Natly mendadak terlihat kekanakan, meskipun sesungguhnya sangat bijak dan dewasa. "Kalau lo?" Tanya Natly begitu tawa sudah tidak keluar dari mulut mereka.
"Huh, gue? Um, gue cuma bisa membayangkan satu hal. Bagaimana caranya agar Bella gak bisa hidup tanpa gue. Gue gak akan membayangkan yang aneh-aneh, walaupun itu tidak terjadi saat kita berhubungan tadi. Gue hanya ingin membuatnya sadar, bahwa kehadiran gue sangatlah berharga bagi hidupnya. Terdengar egois mungkin, but ya. Hanya itu sih harapan dan imajinasi yang sering gue bayangkan." Jelasnya. "Haaah?!" Reaksi Natly membuat Navin mengerutkan kening makin dalam. "Eh, kenapa. Kebanyakan ya?" Tuding Navin.  

"Gak sih! Lucu saja."
"Kalo lo, memang gimana?" Navin menyandarkan dagunya pada bahu Natly. "Gue kadang membayangkan kalau cowok yang gue cinta itu ajak gue kencan, dan dia bawa gue ke hotel. Sesampainya di hotel, dia ajak gue mengobrol banyak hal, sampai tercetus ide untuk menikahi gue. Nikah lari, atau menjadikan gue istri kedua gitu. Haha, begitu lah kira-kira. Gila ya?" Jawab Natly dengan pekikan canggungnya.
"Memang lo seserius itu sama dia? Tapi dia kan sudah berkeluarga Nat, dan apa lo rela, jika hanya menjadi simpanannya saja? Cinta egois lho." Tanya Navin yang menyorot ke dalam mata Natly, berusaha mencari kebenarannya sendiri. "Ya, mau bagaimana lagi. Berhubung gue gak bisa berinteraksi secara langsung dengan dia. Jadi gue rasa, gak ada salahnya kalau gue memenuhi mimpi itu dengan khayalan. Walaupun terdengar sangat bodoh dan berlebihan." Melihat setiap air muka Natly saat membicarakan pria yang dicintainya, begitu percaya dirinya Natly menceritakan imajinasinya Navin merasa, bahwa memang seperti itulah cinta. Bisa membuat orang lain berharap begitu besar, bermimpi dan mencari tahu bagaimana cara mewujudkannya. Sampai orang itu lupa, bahwa itu hanyalah mimpi saja. Tak lebih!

Kalau Natly bisa seyakin itu, secinta itu pada pria yang tidak ia kenal dengan baik sekalipun. Pasti rasa cinta gue pada Bella pun, jauh lebih besar dari yang gue tahu. Batin Navin bertanya-tanya sendiri. I wonder. Apakah mimpi dan imajinasi yang gue dan Natly buat untuk orang yang kita cinta akan menjadi kenyataan?

I wonder...

Bella menggenggam tangan Aaron, benda itu sangat berkilauan di jarinya yang ramping saat terkena air laut yang jernih. Snorkeling ditemani kekasihnya, dikelilingi oleh sahabatnya pula. Ia tak pernah menyangka, bahwa liburan ini akan terasa jauh lebih menyenangkan dari bayangannya.

Aaron dengan manja memeluknya dalam air seraya memperhatikan gerak-gerik ikan dari dasar laut. Bella merasa seperti di surga, menyerahkan hidupnya di tangan Aaron adalah kebahagiaan mutlak. Setiap sentuhan lembut, caranya memperlakukannya. Tentu saja Bella bahagia. Karena Aaron adalah pria yang telah dan akan memberikannya dunia. Selain Aaron, Bella tak tahu lagi. Siapa yang bisa!

Villain In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang