Heartbreak

1.4K 59 0
                                    

   Navin sudah pulang ke rumah sejak hampir dua bulan yang lalu. Namun ia masih harus beristirahat di rumah untuk memulihkan kondisinya. Perlahan-lahan, ia mulai belajar melangkahkan kakinya setiap hari. Memang masih sangat terasa sakit, namun jika tidak digerakan, itu akan membuatnya bosan karena harus berbaring di kasur seharian. "Yes, cancel please!" Ia begitu serius mengobrol dengan asistennya melalui telfon.
Dua bulan meninggalkan kantor, tidak diizinkan menyentuh pekerjaan sedikitpun oleh ibunya. Membuatnya terpaksa harus memantau pekerjaan dari jarak jauh. "Tapi pak, beliau ingin bertemu dengan bapak. Dia berencana menjenguk bapak di rumah, untuk membahas masalah bisnis juga." Jawabnya yang membuat Navin mendecak malas.

"Biar papa saja." Ayahnya tiba-tiba saja bersuara. Pendengaran pria itu masih cukup tajam juga rupanya, untuk mendengar percakapan putranya melalui telfon dengan volume kencang. "Kamu dengar itu, Wi? Bilang saja iya, papa saya yang akan temui beliau nanti." Ucap Navin pada Dewi. "Oh, baik pak. Sesuai perintah bapak. Selamat siang dan semoga lekas pulih."

"Ya, kamu memang butuh istirahat total. Simpan tenaga dan kekuatan kamu untuk berjalan dan menyalami semua tamu nanti." Ujar Reza mengingatkan Navin untuk menyimpan tenaganya, demi hari besar itu. "Tapi itu kan masih lama!" Keluhnya malas. "Tapi kamu tetap harus menyiapkan diri untuk hari besar itu, Navin!" Navin hanya melirik-lirik pada ayahnya yang sedang berbicara dengan nada yang tegas.

Semenjak ia sakit, suasana rumahnya tidak pernah sepi. Selalu kedatangan tamu, baik itu keluarga, kerabat maupun kolega. Khususnya sahabat-sahabatnya yang selalu berisik. Dimas, Alma dan Bella sering berkunjung, untuk melihat kondisinya. Terkadang membantu memapahnya untuk belajar berjalan.

Hanya Natly saja yang seminggu terakhir ini tidak menunjukan rambut pendeknya. Wanita itu sedang ada pekerjaan dan beberapa fashion show di Singapura. "Damn! Kalah lagi." Keluh Dimas yang dikalahkan oleh Navin melalui PlayStation. "You bad dude! Kalau masalah PlayStation, gue jagonya." Cela Navin menyombongkan diri.
"Iya, sekarang ketawa karena main PS. Coba saja kamu ajak dia main monopoli yank, pasti kalah tuh." Jawab Alma yang membela suaminya. "Cemen lo Vin, masak main uang-uangan kertas saja kalah!" Timpal Dimas. "Nah lo sendiri! Main bola-bolaan di PS saja kalah!" Jawab Navin membalas ejekan dari pasangan suami istri itu, dan mereka hanya menyeringai bodoh karena tak mampu membalasnya kembali.

"Anyway, Natly masih di Singapura kan? Bilangin donk Vin, gue titip coklat gitu." Pinta Alma. "Males ah, di sini kan banyak toko coklat!"
"Tapi kan beda! Gue maunya yang lebih nendang gitu rasanya." Jawab Alma dengan kedua tangan meregang dramatis. "Mau lebih nendang? Sini, gue tendang." Ejek Navin. "Kayak bisa saja, kaki lo kan— Eh, ada telfon." Alma menghentikan ucapannya, karena ponsel yang berada di hadapannya berdering. "Siapa mpok?" Tanya Navin ingin hati.

"Dari Bella."
"Oh, suruh ke sini saja!"

"Ya, kenapa Bell?"
"Lo di mana?"
"Gue masih di rumah Navin. Kenapa memang?"
"Gak apa-apa sih. Gue ada kerjaan bentar, lo ada shift malam gak?"
"Memperkaya Ethan mulu, ngapain! Gak lah!"
"Yah, gue gak ada temannya donk. Gue mau kerja nih, ada lemburan. Lo masuk kek, temani gue?"
"Males!!!"

"Eh, lo disuruh ke sini sama Navin." Pungkas Alma seraya menguliti buah jeruk. "Besok deh." Jawab Bella cukup lama. "Ya sudah kalau begitu, yang rajin ya lemburnya. Selamat menikmati!" Ejek Alma yang menutup salurannya.
"Katanya besok dia ke sini." Sambung Alma pada Navin. "Ya elah, betah banget sih tu anak di kostan." Tuding Navin yang tidak tahu bahwa Bella sesungguhnya hendak bekerja. "Bella sekarang pindah kali." Jawab Alma. "What?! Pindah?" Tanya Navin tidak percaya, pada Alma yang menganggukkan kepala.

"Apartment. Sudah lama, sudah mau dua bulan malah. Memang dia gak cerita apa-apa sama lo?" Tanya Alma heran. "Gak tuh." Singkat Navin.
     Navin bertanya-tanya, mengapa gadis itu pindah dan mengapa tidak bercerita apa-apa padanya. "Fufu~ kasihan banget, dibuang sama Bella. Sampai pindah gak cerita-cerita sama lo." Ejek Dimas menertawakan Navin. "Shut up! Btw, kenapa dia gak di tempat gue saja sih?" Tanyanya heran. "Mana gue tahu!" Jawab Alma dengan kedua bahu yang terangkat. "Lagian, kenapa dia pindah ke apartment? Kayaknya dadakan banget."

"Mana gue tahu Vin, bawel ah! Lo tanya saja ke Bella." Jawab Alma jengah. LMungkin. Karena stalker itu." Timpal Narwin yang sedari tadi diam saja memainkan gadget nya. Dan saat ia berkata demikian, semua orang yang berada di ruang tamu dengan cepat menjadikannya pusat perhatian. "Stalker?" Tanya Dimas. "Stalker itu?!" Timpal Navin menyipitkan mata. "Yup!"
"Win, Stalker itu gimana maksudnya? Kamu pernah lihat ada orang lagi untit Bella, gitu?" Tambah kakaknya. "Waktu kak Alma pulang sama kak Natly. Kan kak Bella nginap dua hari, terus Awin anterin pulang. Di jalan, dari RS sampai kost nya, stalker itu ikutin motor kita. Terus pas kak Bella masuk ke kamarnya, Awin tungguin dari jauh tempat kost. Ternyata benar, Stalker itu untit kak Bella." Jelasnya. "Kamu yakin, dia untit Bella?" Tanya Navin ragu namun masih tetap ingin memastikan hal itu. "Orang dia berhenti pas di depan kost kak Bella. Terus Awin tungguin, cukup lama. Stalker itu gak pergi-pergi, diam saja di situ." Jawabnya penuh keyakinan. "Pantesan kamu pulangnya lama banget waktu itu."

Navin maupun yang lain merasa terkejut dan bertanya-tanya, siapa yang tega melakukan hal menyeramkan seperti itu pada Bella; dan apa alasannya. Bella pun tidak menceritakan apapun pada mereka, bahkan kepindahannya saja, tidak ia ceritakan pada Navin.
Belakangan ini, Bella memang berubah. Menjadi sosok yang begitu tertutup dan seakan menyimpan banyak rahasia dari sahabat-sahabatnya.

Tempat baru ini memang lebih luas. Tatanan ruang yang memanjakan mata, dan termasuk seleranya pula. Ia merasa nyaman tinggal di tempat ini. Dari sinilah, ia ingin memulai hidup barunya. Dinding baru inilah, yang akan menjadi saksi baru segala keluh kesah dalam hidupnya.

Bella pindah ke apartment sejak kejadian itu. Ia tak ingin, terus-terusan merasa takut untuk ke luar dari kamar hanya karena diuntit pria itu. Sejak ia diantar pulang oleh Narwin dan diuntit semalaman penuh.
      Bella diberi kabar oleh pemilik kost, bahwa pria itu mencari-carinya. Karena itulah pagi-pagi buta dia memutuskan pergi, berkeliling mencari apartment yang mampu menampungnya. Ia bisa saja meminta tolong Navin untuk menanyakan jika saja ada kamar yang kosong atau tidak di tempatnya, namun itu tak mungkin. Ia tak ingin tinggal berdekatan dengan Navin. Lagipula, kondisi pria itupun sedang tidak meyakinkan untuk dimintai bantuan.

      Setelah merebahkan dirinya cukup lama di dalam bathtub, akhirnya ia menginjakkan kakinya pada keset hangat yang begitu lembut permukaannya. Waktunya sudah tiba, saatnya ia kembali memunguti uang dari para hidung belang. Malam ini, Chris berniat untuk datang ke tempatnya bekerja, dengan alasan ingin bertemu dengannya. Mengobrol dan menggombalinya seperti biasa. Sebenarnya ia sedikit berbohong ketika Alma bertanya mengapa ia hendak bekerja. Memang ada pekerjaan yang membuatnya harus di sana, selebihnya karena Chris juga.

Bella merasa sekarang bukan waktunya untuk bermalas-malasan, dan hanya menerima uang tanpa mengeluarkan tenaga sedikitpun. Karena kini, saat ini, adalah hari dimana dia harus menata hidupnya kembali. Seorang diri, seperti titik awal, yang selalu ia jalani sendiri. "Kebanyakan nanti mabuk lho, Bell?" Tanyanya khawatir.
      Mereka berdua ada di ruangan Ethan, dan tentu saja Bella tidak berkata apa-apa pada bosnya, bahwa Chris akan datang ke kantor mereka. Chris adalah kolega Ethan yang tergila-gila akan Bella, sama dengan pria-pria lainnya. Bella tak keberatan, jika banyak pria yan menggodanya di sini. Bukankah itu alasan Ethan mempekerjakannya dari awal (?). Untuk menarik dan meyakinkan hubungan Ethan dengan kolega-koleganya, agar mau bekerja sama dengan perusahaannya.

"Berisik ah, gue gak akan mabuk Chris percaya deh!" Bantah Bella yang masih saja menuangkan wiski ke dalam gelasnya dan Chris. Ia memang belum sepenuhnya mabuk, hanya pusing-pusing sedikit saja.
     "Kamu kenapa sih? Galau, berantem? Putus cinta ya sama pacarnya? Kan aku bilang juga apa, kamu itu cocoknya sama aku. Aku gak akan nyakitin kamu kok." Ucap Chris dengan percaya dirinya mempromosikan diri. Namun gadis itu hanya membalasnya dengan segaris senyuman tipis seraya menggeleng kecil. "Kamu kenapa, bell? Aku gak keberatan kok, jadi telinga sewaan." Sambungnya cukup lama. "Gue gak kenapa-kenapa." Bantahnya datar.

"Aku sering datang ke sini untuk temuin kamu. Tapi baru kali ini, kamu minum se semangat ini, namun raut wajah kamu. Begitu menyedihkan!" Ujarnya dengan sorot mengkhawatirkan Bella. "Apaan sih lo Chris, sok tahu— sok dewasa! Gue gak apa-apa, jangan lebay deh." Bantahnya dengan pekikan canggung.

"You were, break up with him. Weren't you?"

Villain In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang