How long?

1.8K 71 0
                                    

"Loe tunggu di mobil saja ya!" Navin meninggalkan Bella dan keluar dari mobilnya yang dia parkir tepat di samping gerobak dagang seorang pria.

Seperti pagi-pagi sebelumnya, seperti biasanya. Sangat ramai, orang-orang itu menunggu giliran untuk mendapatkan buburnya. Bahkan meja dan kursi sudah dipenuh juga oleh pelanggan. Kalau bukan karena buburnya yang enak, takkan sudi Navin membuang waktu untuk berdesakan pagi-pagi begini. "Eeh, pagi. Mas Navin ke mana saja?" Pria yang mengetahui kedatangan Navin itu seketika menyapa dengan ramah.

"Pagi kong. Ada kok, ada. Saya pesan seperti biasa ya, sama satu lagi komplit tapi"
"Iya mas, tapi satenya kehabisan lho. Cuma tinggal dua."
"Ya sudah, gak apa-apa." Navin selalu memesan bubur tanpa kacang goreng. Sedangkan untuk Bella, dia memesankan dengan topping yang komplit. Ekstra sambal. Wanita!

     Membawa kenangan lalu. Bubur pak tua itulah yang menjadi tali tipis penghubung dia dan Bella. Terkadang dia merasa, mungkin itu adalah takdir. Setiap kali menghibur diri dan mengingat hari itu kembali, hal itu selalu ampuh untuk membuatnya tertawa-tawa sendiri mengenang pertemuan itu.

Sebenarnya julukan Ngkong tampak belum pantas untuk pria penjual bubur itu, mengingat usianya belum begitu sangatlah tua. Namun karena masyarakat sudah terlanjur mengenal buburnya dari pertama kali ayahnya berjualan, maka nama Ngkong itu dia dapat dari mendiang sang ayah dan bahkan resepnya.
Setelah mendapatakan dua porsi bubur, Navin kembali ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan untuk mengantar Bella pulang. Dalam mobil, Bella diam saja. Tidak menyalakan musik dengan volume keras dan menari-nari kecil bak orang gila.

Setibanya di depan gerbang kost Bella, Navin kembali ke luar dan membukakan pintu. Saat Bella mulai melangkah untuk membuka gerbang, Navin memanggilnya dan menyerahkan sarapan itu. Walaupun sedang marah, Navin sangat yakin bahwa Bella takkan mampu menolaknya. Wanita itu hanya gengsi saja, berpura-pura pergi seakan dia tidak membutuhkannya.
Tidak perlu bujukan ekstra dari Navin, dia langsung menerimanya karena sadar bahwa cacing dalam perutnya juga sudah bermain orkestra.

Ingin sekali rasanya untuk tertawa, melihat Bella yang malu-malu mau dengan gengsinya. Karena masih sadar akan salahnya, jadi dia lanjutkan saja tertawa dalam hati. Atau nanti, di dalam mobil saat menuju kantor nanti.
     Setelah mendapatkan sarapan gratis, Bella dengan cepatnya masuk ke dalam, melambaikan tangannya satu kali tanpa menatap Navin dan meninggalkannya.

Bella sangat menikmati sarapannya. Entah karena perutnya yang sangat kelaparan, atau memang karena bubur itu begitu enak. Yang jelas dia begitu menikmatinya. Usai sarapan, dia berencana untuk melanjutkan tidurnya yang diganggu oleh Navin. Matanya masih sangat mengantuk, dan itu membuat kepalanya menjadi sedikit pusing. Ketika dia mulai membaringkan tubuhnya pada kasur, benaknya melayang pada moment itu. Rasanya malu sendiri, mengingat posisinya dalam cengkraman Navin. Sampai takut jika pria itu mendapati wajahnya yang merona.

Anak itu! Kadang kalau sudah bercanda suka kelewatan!!!

Besok-besok gue tendang lo!

Bella sudah terbiasa dengan guyonan dan candaan Navin. Sapaan sayang, kekonyolannya, dan sikap menyebalkan Navin yang lainnya. Tapi yang kemarin rasanya aneh karena sampai sejauh itu.
Namun jika diingat-ingat, soal sapaan sayang. Beberapa belakangan ini Navin tidak seperti biasanya, sudah jarang, bahkan sudah tidak memanggilny: babe, sayang, yank, cinta, bla-bla-bla. Bella sedikit lega, setidaknya Navin mengurangi sikapnya yang seperti itu. Namun rasanya aneh saja, jika pria itu begitu berubah sikap secara tiba-tiba.
Entahlah, dia tak mau terlalu membebaninya. Yang dia butuhkan saat ini adalah tidur. Setelah menyibukkan pikirannya soal Navin, akhirnya Bella terlelap juga melanjutkan tidurnya.

"Mama tumben telfon pas aku lagi kerja, gimana kabarnya di sana?" Aaron terkejut karena tiba-tiba ibunya menelfon. Beda dari biasanya, ibunya selalu menelfon saat dia sudah berada di apartment, di luar aktivitas kerja.
"Gak apa-apa. Mama baik kok, kamu gimana?"
"Aku sehat ma, syukurlah kalau mama sehat-sehat saja. Jangan terlalu serius kerja ma, kondisi mama juga penting. Aaron kan jauh sama mama, jadi sebagai anak, Aaron hanya bisa mengingatkan saja."

"Kamu tuh, selalu bawel kalau telfon mama ya." Wanita itu mengkikik dari sebrang sana, dan Aaron pun ikut tertawa bersamanya.
"Kamu, gimana sama Bella?" Aaron sudah mampu menebaknya, cepat atau lambat ibunya pasti akan menyinggung soal itu. Baru kemarin dia mendengar masalah itu dari kakaknya, kini ibunya sudah langsung bertanya saja.

Walaupun sudah mengetahui apa kemauan ibunya, dan paham betul atas maksudnya menelfon. Namun Aaron belum mau menanyakan masalah itu secara langsung. Dia akan menunggu sampai tiba saatnya, dan biarkan ibunya yang mengingatkan Aaron untuk menjadikan calon menantu yang sekarang ini, menjadi menantu seutuhnya.
"Baik-baik saja kok ma. Lima hari lagi kita mau liburan, ke Bali."
"Bali, gak ke sini saja gitu? Kita liburan bareng. Ajak Bella ke sini!"
"Kayaknya lain kali saja deh ma. Ini rencana temannya Bella juga, gak enak kalau aku tiba-tiba batalkan dan pergi berdua saja."

"Mama pikir kalian liburan berdua saja, ya sudah kalau begitu. Kamu gak ke rumah?" Tanya ibunya hati-hati. "Semalam aku menginap di rumah, Regi suruh aku pulang." Jawab Aaron tanpa ragu, seakan sengaja ingin membuat ibunya sadar, ke arah mana percakapan ini akan berakhir nantinya.
"Um, Ron. Regi gak ngomong apa-apa?" Tanyanya lagi yang membuat Aaron melayangkan senyuman tipis tanpa bisa dilihatnya. "Ngomong apa ma?" Tanya Aaron berpura-pura tidak tahu, karena merasa belum siap mewujudkan harapan ibunya. Menanyakannya saja dia belum berani. "Oh, gak! Bukan apa-apa." Dustanya. "Terus kenapa dia telfon kamu?" Tambahnya.

"Kangen saja katanya. Ivi juga request kado untuk ulang tahunnya. Haha, padahal masih lama banget ya ma?" Jawab Aaron dengan sedikit dusta. "Iya. Aduh, gadis cilik itu! Mama jadi kangen. Ya sudah kalau begitu, kamu juga jaga kesehatan. Mama titip salam untuk Bella ya!"

"Iya ma pasti!"
"Ya sudah!"
"Ya, see you mom." Aaron menutup telfonnya, kembali pada laptop yang dia abaikan untuk beberapa saat tadi.
Ibunya yang sedang berada di kamar hotelnya itu mencemaskan Aaron. Dia sangat berhati-hati, sampai belum berani meminta menantu secara langsung. Untuk itulah dia meminta Regina agar menyampaikannya. Namun setelah mengetahui Regi menelfon Aaron secara tiba-tiba, tapi belum menyampaikan pesannya. Itu lebih membingungkannya lagi.

Justru yang sesungguhnya, Regina sudah melakukan tugasnya. Hanya Aaron saja yang berpura-pura tidak tahu, dan tidak menceritakannya padanya.
Walau untuk dua tahun ke depan dia memiliki rencana membangun perusahaan baru, namun rasanya dia ingin melihat Aaron menikah secepat mungkin. Dia bisa saja menunggu selama dua tahun untuk mencapai cita-citanya. Tapi, jika menunggu untuk Aaron agar segera menikah; rasanya waktu dua tahun itu akan terasa sangat lama.

Villain In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang