Another Ex 3

4.4K 124 0
                                    

      Mereka sudah selesai bermakan malam, hingga kini dihadapan mereka sudah ada dua piring kecil yang berisikan Cheesecake dan satu buah Tea Pot berisi Green Tea hangat. Cindy menuangkan teh kedalam cangkir Navin dan tak lupa ditambahkannya satu bungkus kecil gula rendah lemak.

Mata kecoklatan dibawah alis tebal itu memandangi Cindy dari balik cangkir teh yang diminumnya seraya mencoba mengumpulkan keberaniannya, dengan lembutnya dia menggenggam tangan Cindy yang berkulit putih langsat hingga gadis itu pun membalas genggaman tangannya. "Ehm, cin. Maaf, aku sudah memikirkan hal ini dari jauh-jauh hari."
Karena melihat keseriusan diwajah Navin, dia menjadi lebih serius dan menyimak. "Ya, kenapa?"
      "Um, aku rasa kita harus putus." Kata itu meluncur dengan cukup lancar seraya menatap Cindy dalam-dalam, sedangkan Cindy. Gadis itu hanya melepaskan genggamannya dan membuang tatapan kosongnya yang seakan tidak percaya akan apa yang baru saja di dengarnya.

Hubungan yang baru seumur jagung, hubungan yang belum beranjak empat bulan kandas dan hancur didepan matanya. "Pu- putus? Putus vin, kenapa? Apa aku membuat kesalahan yang aku sendiri gak sadari?" Keheranan Cindy lebih tampak seperti kekecewaan bagi mata Navin, dan dia merasa bahwa dia memang pantas menerima tatapan itu. "Gak Cin, bukan. Kamu gak salah apa-apa! Masalah ini sepenuhnya ada di aku, aku yakin kamu pun menyadarinya. Bahwa hubungan kita ini gak normal, gak sehat. Jujur saja, karena aku sudah berusaha untuk mengakhiri ini semua, jadi aku rasa sudah tidak ada lagi yang harus aku tutupi. Aku bukannya sibuk, melainkan aku berusaha menghindar dari kamu. Mungkin terdengar kejam, tapi sebelum hubungan ini berjalan semakin jauh. Aku mau kita akhiri saja semua ini." Navin berusaha meyakinkan Cindy dan memberi jawaban dengan tenang tanpa tergesa-gesa. Dia menarik nafasnya dalam-dalam sebelum meneruskan kalimatnya. "Ini pun demi kebaikan kamu!" Mata yang di balut mascara itu berbinar, mata gadis yang duduk dihadapannya itu terlihat penuh kekecewaan. "Terbaik, buat aku!? Terbaik buat kamu mungkin iya! Aku bisa tebak, ini pasti karena Bella, iya kan!?" Terdengar jelas suara Cindy yang meninggi, bibirnya gemetar saat menyebutkan nama Bella dan itu bagian yang paling menghantaman dadanya. Dia tidak mengerti mengapa cindy selalu menyangkut pautkan bella. "Bella?! Ini gak ada hubungannya sama dia, aku yang terlalu ceroboh mengambil keputusan secara tiba-tiba. Aku mengagumi sosok kamu, aku menyukai keindahan kamu. Aku yang tidak berpikir panjang, mempertimbangkan segalanya langsung menyimpulkan bahwa itu adalah cinta. Kita kenal saja belum satu bulan dan aku langsung ajak kamu pacaran, tapi setelah kita menjalani hubungan ini. Aku pikir perasaan aku akan normal-normal saja seperti orang pacaran pada umumnya, tapi aku sadar bahwa rasa itu hanya sekedar rasa suka dan kagum seorang pria terhadap lawan jenisnya. Bukan cinta, jadi-" Belum selesai dengan ucapannya, Cindy sudah memotongnya.

"Mungkin kamu benar soal itu, aku juga merasa sifat kamu sangatlah berbeda dan terbilang biasa-biasa saja sama aku. Kamu terlihat jelas seperti tidak memiliki perasaan spesial untuk aku, tapi yang tidak aku habis pikir adalah. Ternyata benar dugaannku, kedekatan kalian dibatas wajar. Aku sadar betul kamu yang lebih mendahulukan Bella ketimbang aku, kamu yang nemperhatikan Bella jauh daripada aku. Kamu yang selalu mengutamakan dia lebih dari apapun dan itu memuakanku!" Navin semakin dibuat bingung oleh pemikiran Cindy, dia sama sekali tidak menangkap apa yang dimaksudnya. Dia merasa bahwa ini tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Bella atau wanita manapun, dia memperlakukan Bella dengan baik karena dia menyayanginya. Karena dia sahabatnya.

"Cin, seperti yang aku bilang. Ini gak ada hubungannya sama Bella atau wanita mana pun, ini murni apa yang aku rasakan sama kamu." Jelasnya yang masih terus mencoba meyakinkan, bahwa hubungan itu sudah seharusnya berakhir. Atau mungkin memang sudah seharusnya tidak pernah terjadi. "Cin, kamu cantik lebih dari yang kamu kira. Kamu pantas disayangi oleh pria yang menyayangi kamu tapi pria itu bukan aku, aku hanya bisa menyakiti kamu. Gak ada untungnya kita lanjutkan kalau yang aku lakukan hanya membuat kamu merasa terabaikan, jadi lebih baik kita sudahi saja. Ya?" Dia berusaha menggenggam tangan itu lagi, tapi Cindy menolaknya. "Navin, navin. Aku sebagai perempuan tahu betul perasaan kamu karena aku bisa melihatnya, hanya kamu yang masih tidak cukup dewasa saja untuk menyadarinya. Kamu masih terlalu buta untuk mengetahuinya, cepat atau lambat kamu akan menyadarinya dan anggap saja jika waktu itu datang. Itu adalah siksaan dan balas dendamku untukmu." Katanua yang melayangkan segaris senyuman tajam. "Apa maksudnya? Aku bingung! Jadi kamu dendam karena aku memutuskanmu?" Tanyanya bingung.

"Sudahlah, anggap saja bahwa kita tidak pernah pacaran. Toh kamu tidak pernah ada untukku! Tapi kalau kamu butuh teman, aku tidak keberatan untuk temani kamu; tidur." Ejeknya dan itu semakin membingungkan Navin saja. "Eh, apa maksudnya tidur!?" Teriaknya. "I'm joking you dumbass!" Cindy dan mobilnya semakin jauh meninggalkan cafe, sementara Navin masih duduk dan melamun seperti keledai bodoh yang berusaha menyaring ucapan Cindy satu perastu.

Vin, gue sudah bisa membaca hal itu dari dulu. Laki-laki yang berteman dekat dengan seorang wanita rupawan, berusaha menjalin cinta dengan wanita lain sebagai pelampiasan namun justru itu malah semakin terasa menyakitkan. Lo gak akan bisa lepas dari Bella, jika orang-orang disekitar lo yang amat menyayangi lo saja tidak bisa lo lihat keberadaannya.

Cepat atau lambat vin, cepat atau lambat! Lo akan mengungkapkan perasaan lo yang sesungguhnya dan menderita.

Bisa tidak dia membalas perasaan yang sama!

Cindy tersenyum tipis merasakan luka yang baru saja didapatnya. Setidaknya dia merasa lega, dia senang bahwa setidaknya dia pernah bersama Navin dan pernah memilikinya. Dia pernah bergandengan tangan bahkan menciumnya, walupun kini dia ditinggalkan dengan rasa cinta yang masih amat besar terhadapnya.

"Cepat atau lambat!? Maksudnya apa sih!?" Damn, cewek memang membingungkan!   Navin terus mengulang-ngulang kata maaf dalam hatinya untuk Cindy. Karena bosan, dia memutuskan untuk menelfon Bella namun telfonnya tidak aktif.

    Karena tidak ada yang bisa diajaknya bicara, dia pulang ke apartemennya dan setibanya disana dia meraih satu botol whiskey yang sudah diminum seperempat dari botol tersebut. Pikirannya melayang pada Cindy, dia merasa percakapannya itu masih belumlah berakhir. "Hallo cin, sudah mau tidur belum? Sorry ganggu." Navin terdengar agak canggung setelah kejadian putus tadi, rasanya seperti belum pernah mengobrol dengan Cindy sebelumnya. "Belum kok, kenapa? masih penasaran sama ucapan gue? Atau beneran mau minta di temani tidur sama gue?" Pekikan tawa renyah Cindy yang menggodanya terdengar sedikit menjengkelkan. "Not funny at all! Gak, sudah gak penasaran kok. Emh, gue mau minta maaf sekali lagi. Jujur ini mengganjal benget karena tadi lo langsung buru-buru pergi begitu saja." Navin mengungkapkan perasaan bersalah yang masih mengganggu hatinya. "Kayaknya kita memang cocok manggil gue-lo ya vin? Nah, it's ok! Gue juga ngerti kok." Cindy masih terus saja menggodanya hingga tidak terasa, rasa canggung sudah tidak ada diantara keduanya. Mereka mengobrol dengan tenang seolah tidak terjadi apa-apa diantara mereka dari tiga jam yang lalu dan membicarakan banyak hal. Mengingat kejadian aneh, manis dan menjengkelkan saat mereka masih bersama. Sampai keduanya bingung dan terdiam karna kehabisan kata. "Cin, sekali lagi makasih ya. Anyway, mph- you know, lo gak keberatan kan kalau, tetap temenan sama gue?" Tanyanya ragu karena takut Cindy akan menolaknya.

"Sure, why not! Anything else vin? betewe gue sudah cukup mengantuk juga nih."
"Gak, ya sudah. Sleep tight, cin."
"You too. Ingat ya vin!"
"Apa?"
"Cepat atau lambat!"
"Cindy!!!" Cindy menutup telfonnya dengan terburu-buru dengan tawa kecil yang membuatnya jengkel.

Geez, what's wrong with her!?

Dia kembali menenggak whiskey terakhirnya sebelum beranjak menuju tempat tidur.


Bella membuka matanya, mendapati kekasihnya sudah tidak ada disebelahnya. Dia melihat sekitar ruangan dan tetap tidak mendapati sosok Aaron hingga pandangannya terhenti pada meja makan yang sudah berisikan roti panggang, salad dan telur mata sapi pada piring. Ditepi nampan terlihat secarik kecil yang berisikan pesan dari sang kekasih.

'Good morning belle, nyenyak banget tidurnya ya? Aku berangkat lebih pagi karena ada janji, ini sarapan dinginnya dimakan ya! Daripada perut kamu bunyi terus. Love you! A'

Bella tersenyum bungah, dia begitu senang atas kebaikan Aaron yang begitu mengerti dan memperhatikannya. Membuatnya selalu merasa beruntung dimilikinya.

     Usai sarapan, dia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Aroma tubuh Aaron yang khas tercium samar-samar pada bagian tubuhnya hingga akhirnya hilang saat dia membasuh seluruh tubuhnya dengan air dan sabun. Dia berniat mengabari Aaron bahwa dia akan meninggalkan apartmentnya, namun ternyata telfonnya mati dan dia pulang tanpa memberi kabar apapun.

Setibanya di kostan dia sibuk mencari charger dan menyalakan TV, tidak terasa menunggu telfonnya sudah menyala sendiri karena memiliki cukup daya. Saat itulah beberapa notif mulai bermunculan.

• 00:39
Bellek dimana? Masih hidup gak?

01:12
Now i know! Lo lagi sama dia ya? Balas kalau sudah sadar!

"Kenapa ini anak? Minta ditemanin makan ya?"

Villain In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang