Take my hands

1.3K 60 0
                                    

Bella meringkuk seharian, tidak mau makan. Hanya wine dan nikotin yang masuk ke dalam perutnya. Seharian ini, ia hanya mengacak-acak buku bacaan, kanvas dan cat yang ia butuhkan untuk membunuh waktu.

Hatinya memang tidak sedang dalam keadaan yang baik, namun ia hanya ingin melakukannya saja. Mencorat-coret kain putih tulang itu, tanpa tahu, apa yang akan digambarnya. Semata-mata hanya ingin membunuh waktu, mencegah rasa sepi, yang bisa saja menghampiri. Alma dan Dimas mengajaknya untuk ikut ke rumah mereka, beristirahat dan makan di sana untuk mengisi perutnya. Namun ia menolak, ia ingin sendiri.

Ruanganpun masih tetap gelap, hanya ada sedikit cahaya langit sore yang mengintip kesendiriannya melalui jendela.

Ia suka melakukan hal-hal itu. Berdiri di dalam kegelapan, menjatuhkan air matanya satu persatu tanpa ada yang tahu, tanpa dilihat siapapun. Bahkan cahaya sekalipun.
Ia suka, saat pikiran dan hatinya sedang gundah. Depresi, sedih dan sampai menangis. Mencoret-coret kanvas ataupun membaca, bisa sedikit menyembuhkannya. Banyak orang berkata, 'Saat seseorang sedang bersedih bahkan kecewa hatinya, disitulah; berbagai inspirasi seringkali terlihat'. Ia percaya akan hal itu, walaupun ia sendiri tidak tahu pasti, karya apa yang akan ia curahkan. Dan seperti apa hasilnya nanti.

Sudah berkali-kali, Navin mencoba menelfon wanita itu. Namun ia enggan menjawab sama sekali. Ia ingin menghampirinya, namun belum bisa. Karena seharian ini, ia harus bertemu dengan seseorang. Natly pun sudah pulang. Karena tak ada mobil yang bisa Navin kendarai di rumah, ia memesankan satu taksi untuk sahabatnya itu.

Sedikit bosan, karena prosesnya memakan waktu berjam-jam. Ia ingin segera menyelesaikan urusannya. Namun salesman itu masih sibuk mengurus barang yang ia mau.
Navin memesannya dari dua minggu yang lalu, berhubung barangnya baru datang hari ini. Jadi ia harus membereskan proses akhirnya. Navin sudah sangat tidak sabar ingin meninggalkan tempat ini dan melihat keadaan Bella. Apakah wanita itu baik-baik saja, atau tidak!

"Bapak, bisa mohon tanda tangannya." Pria berumur sekitar empat puluh tahunan itu menyodorkan berlembar-lembar kertas yang siap untuk Navin tanda tangani. Aah, finally!
Ia bernapas lega, akhirnya ia bisa pergi setelah menandatangani lembaran kertas-kertas itu.
Saat kunci sudah ditangan, bermacam-macam surat dan dokumen sudah ia terima. Secepat mungkin ia bangkit dan meninggalkan meja. "Mobilnya di mana?"

"Di depan pak."
"Ok, makasih mas. Saya buru-buru."
"Tapi pak, pak!" Navin pergi meninggalkan sales yang ternganga karena dia pergi begitu saja dengan plat nomor sementara.

      Tiba di apartment Bella. Karena tadi ia terburu-buru dan takut, kalau saja wanita itu tidak ada di apartmentnya. Ia belum sempat melepaskan plastik-plastik yang menempel di dalam mobilnya, jadi ia lakukan saja di parkiran. "Bell, Bell! Lo di dalam?" Tanya Navin seraya memencet bel dan meneriaki Bella dari luar, namun tetap saja hening tak ada jawaban. "Bell, Bella. Buka Bell, ini gue!" Is she alright?! Sambung batinnya kian merusuh. Jangan-jangan, Bella?

"Oh no! Apa yang gue pikirkan sih!" Imajinasi konyolnya menguasai kesadaran. Ia khawatir sesuatu hal buruk bisa saja menimpa Bella. Ia sendiri tak mau, memikirkan hal bodoh di saat seperti ini. Namun ia sangat khawatir, sampai-sampai mengira jika saja Bella bunuh diri, mengakhiri hidupnya karena patah hati. Tak ingin rasa penasarannya semakin gila, ia turun ke bawah untuk menuju ke resepsionis.
"Saya kurang tahu pak. Karena biasanya dia selalu pesan makanan, satu hari itu minimal satu kali, pasti pesan. Tapi hari ini tidak, mungkin dia sedang keluar pak." Jelas seorang resepsionis yang sedikit tidak sibuk. "Gak, saya mau cek dulu. Karena berkali-kali saya telfon, dia gak angkat. Mas bisa pakai kunci ganda kan?" Navin kukuh, ingin pegawai itu tetap memberinya kunci kamar Bella, atau antar dia ke sana.

"Um, bisa sih pak. Tapi, bapak ini siapanya? Maaf, saya hanya berjaga-jaga, dan harus mengetahui status dan asal-usul bapak. Setidaknya maaf, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan menimpa pada penghuni kamar." Tanya petugas itu hati-hati. "Kalau saya bilang saya pacarnya, apa mas akan kasih kunci ganda untuk saya? Lagian kalau saya orang jahat, mas kan bisa tahu, saat pemilik kamar melihat saya, bagaimana reaksinya. Dia kenal atau tidaknya pada saya." Jawabnya sepele. "Um, bisa pak, bisa. Saya hanya menjalankan tugas saja. Maaf kalau saya sudah menuduh bapak orang, jahat."
"Ya, gak apa-apa. Saya juga sudah mengotot barusan, maaf untuk itu." Setelah menerima kunci ganda untuk kamar Bella, Navin kembali ke atas untuk melihat keadaan wanita itu.

    Ruangan sangat gelap, berantakan. Buku-buku berserakan di lantai, kasur dan juga meja. Ada kanvas terpampang, bersandar tanpa pemiliknya. Gambarnya tak jelas, sebagian cat yang mewarnai karya itu, berwarna gelap. Dan di tengahnya, ada objek cantik sedang bercermin. Wajah wanita dalam lukisan itu sangat sendu, matanya layu dan seakan sedang berbicara. Bahwa wanita dalam lukisan itu sedang dalam kesedihan.

Navin menyentuh kanvas dengan lukisan yang setengah jadi itu. Ia meletakan telunjuknya pada wajah yang warnanya belum tercampur dengan sempurna. Dan dengan lembutnya, ia menyentuh mata yang sendu dan layu tersebut. Berharap air mata wanita dalam lukisan itu, mampu berhenti menetes.
      Ia kembali teringat dengan bella. Alasan utamanya datang kemari, adalah untuk memastikan keadaan wanita itu. Kamar mandi, dapur, kamar Bella bahkan tamu, sudah ia periksa. Namun nihil, wanita itu tidak ada di manapun. Saat rasa khawatir dan kesalnya semakin menumpul, ia duduk di atas ranjang Bella. Mengatur napas sambil melonggarkan kancing bajunya. Ada suara hembusan napas yang terdengar cukup keras dan mengisak berat, seperti sedang menangis, namun enggan diketahui oleh orang lain.

Is she?!

"Found you!" Pungkas Navin saat membuka pintu, dan mendapati Bella di sana. Wanita itu terlihat sedang menikmati kesedihannya. Masih saja menekuk kedua lutut, sambil menutupi mulutnya.
"Bella, ngapain di sini? Kenapa kamar segelap ini?" Wanita itu masih membisu. "Bell!"

"Come out! Lo bukan anak kecil lagi." Ajak Navin yang mengulurkan tangannya. "Gue cuma gak mau dilihat orang, karena terus-terusan menangis." Katanya seraya masih terisak. "Here, take My hand!"
"Please, Bella. Berapa lama lo berencana mengurung diri, dan terus nangis seperti ini. Come on, take my hand!" Bella meraihnya, ia menyentuh tangan Navin hingga pria itu bisa menariknya keluar dari dalam lemari. Navin tak tahu, sudah berapa lama gadis itu bersembunyi di tempat biasa anak kecil gunakan untuk bermain petak umpet.

Navin mengajaknya duduk, dan mengelus kepalanya lembut. Ia menyisiri rambut berantakan Bella dengan jemarinya, ingin hati untuk menciumnya, namun ia tak sanggup. Melihat Bella yang terus menangis saja, sudah sanggup mengumbut jantungnya.

Karena kedatangan Navin, kesedihan Bella pun semakin menjadi. Rasanya air mata semakin deras tak tertahankan. Nangis, nangis saja sampai lo muak! Kalau lo gak bisa turutin permintaan gue untuk berhenti. Maka nangis sampai lo capek!" Mendengar ucapan Navin, semakin memicu emosi Bella. Kemeja pria yang mendekapnya itu sudah basah dibanjiri oleh air matanya, tangannya pun dengan gemas meremasnya.

"Lebih baik?" Tanya Navin menggoda. "Mph, sudah capek."
"Iya lah, dasar bodoh! Nangis seharian capek kali." Hardik Navin seraya mengacak-acak rambut Bella, dan wanita itu seketika memukul perutnya.
"Kok lo bisa tahu, kalau gue ada di dalam?" Tanyanya penasaran. "Lo gak mungkin ke luar, setidaknya di saat seperti ini. Kecuali kalau lo mau, nangis sambil dilihatin orang banyak!" Ia menatap Bella yang terduduk dengan pandangan yang kosong.

"Hey, I won't let you cry." Ucapnya cukup lama, dan Bella mematung karenanya. "Mph, maksud gue. Gue akan buat lo bahagia, dan gak akan biarin lo sedih! Jadi." Sambungnya yang menggantungkan ucapan.
"Semangat Bella! Gue akan bantu lo untuk tersenyum kembali!" Senyuman Navin untuk Bella, begitu menyegarkan dada. Walaupun itu hanya bentuk dukungan dan hiburan dari sahabatnya, namun Bella tahu, ia selalu percaya. Akan setiap kata yang Navin ucapkan. Ia yakin, jika ada pria itu, ia akan baik-baik saja. "Yeah, I will!" Tawa Bella mulai terdengar, wajahnya mulai berseri karena  senyum indah yang menghiasi. "Gitu donk!"

"Lo buang-buang kanvas saja Bell. Gambar apa nih, gak jelas bentuknya." Gurau Navin yang kembali merayapi lukisan Bella.  "Itu belum selesai. Lagian, daripada gue melamun terus. Setidaknya biar ada kegiatan."
"Tapi tetap saja. Belum kelar, malah lo tinggalin nangis, ngumpet di lemari!"
"Sudah apa, jangan diledekin terus!"
"Iya deh, bercanda. Tapi gue baru tahu, kalau lo bisa lukis."
"Gak harus gue ceritakan juga kan?!"
"Harus lah! Gue kan teman lo, jadi biar tahu, segala hal tentang lo."
Rasanya aneh, saat bella mendengar kata 'teman' dari mulut Navin. Seperti ikhlas tak ikhlas, ia tak ingin mendengarnya. "Eh, sudah mandi belum? Kita jalan yuk!" Ajak Navin antusias. "Ke mana?"

"Gue punya kejutan, dan bakal nyenengin lo hari ini."

Villain In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang