Did you regret it?

905 45 4
                                    

"So, um. Jadi, kenapa kamu meminta untuk bertemu?" Percakapan di antara mereka berdua masih sangat terdengar canggung dan kaku.
"Eng, about-" Bella menundukkan kepalanya, dan terus memperhatikan kedua tangannya yang mengepal di pangkuannya sendiri.
Aaron memperhatikan air muka gadis yang terlihat sedang kebingungan dihadapannya itu, dan akhirnya, ia berusaha membuat suasana agar terasa lebih hangat, demi membuat membuat merasa nyaman. "You know, kita bisa membicarakannya nanti. Sekarang, bagaimana kalau kita makan malam terlebih dahulu, ya?" Bella tak menjawabnya, namun sinar mata yang tak berani menatap Aaron itu masih sedikit berkaca-kaca. "Apa, kamu ingin membicarakannya sekarang? Karena sepertinya, itu sangat penting untuk kamu sampaikan." Tambah Aaron yang mengurungkan niatnya untuk memesan makanan, dan mempersilahkan Bella untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya terlebih dahulu.

"Kalau, kamu merasa tidak nyaman berbicara di sini. Apa, kamu ingin membicarakannya di kamar?" Kepala Bella terangkat, dan kini, matanya mulai berani menatap mata Aaron karena terkejutnya ia mendengar ucapan Aaron barusan. "It's alright, aku tidak akan melakukan hal apapun yang bisa membuat kamu takut ataupun menangis. Trust me!" Aaron memberi tatapan yang begitu tenang, berusaha meyakinkan Bella, bahwa ia takkan melakukan hal apapun yang bisa membuat wanita itu merasa takut kepadanya.

Is she for real?!

Bella menelan ludahnya, menyirami tenggorokan yang kering, membuat ia semakin sulit untuk mengucapkan kata-kata. Namun, walaupun ia tidak menjawab ajakan Aaron, tanpa sadar dan begitu ringannya ia bangkit dan mengikuti langkah kaki Aaron dari belakang. "Ayok, silahkan! Ini slippernya, agar kaki kamu tetap hangat." Aaron meletakan slipper lembut itu di hadapan kaki Bella. "Terima kasih."

"Great, sekarang mereka masuk ke dalam. Damn it!" Kesal sekali, Navin hanya mampu memperhatikan kedua mantan tunangan itu dari jauh. Hanya untuk memastikan bahwa Bella baik-baik saja, dan ingin tahu percakapan seperti apa yang akan terjadi di antara mereka berdua. Namun kini, mereka malah masuk ke dalam kamar, membuat Navin tak mampu bergerak lebih jauh.

"Kamu mau teh?" Ucap Aaron menawarkan. "Um, boleh, jika tidak merepotkan."
"Tentu saja tidak Bella! Kamu tahu, kalau kamu tidak seharusnya merasa sungkan padaku." Dengan senyuman dan suara yang begitu renyah didengar, Aaron pergi membuatkan satu cangkir teh untuk Bella. Dalam hati Aaron, ia merasa sangat canggung pula, karena tidak percaya, bahwa Bella akan menelfonnya dan meminta untuk bertemu dengannya. Ada rasa percaya diri dalam hatinya, mungkinkah kedatangan Bella di sini atas dasar cinta. Namun ia juga tidak mau terlalu dalam dimakan harapan.

"Ini!" Disodorkannya teh itu pada Bella. "Boleh aku bertanya?" Sambungnya. "Iya, tentu!" Bella mempersilahkan, setelah menyesap sedikit teh hangatnya. "Itu, apa?" Aaron menunjukkan telunjuknya pada kotak berwarna merah muda yang Bella bawa.
"Oh, um. Itu, untuk Livia. Dulu, aku berjanji akan memberinya kado saat dia ulang tahun. Sebenarnya, aku sudah lama membelinya, dan aku berniat untuk menitipkannya sama kamu." Jelas Bella. "Oh, thank you Bella. Kamu baik sekali, Ivi pasti sangat senang menerima kado dari kamu. Gadis itu pun, sering, menanyakan kabarmu." Jawab Aaron yang tersenyum lirih. Seakan terlalu sakit menyampaikan bahwa keponakannya pun merindukan kehadiran Bella, meskipun kerap malu-malu kucing tiap kali Bella mendekatinya. "Tolong, sampaikan salam dan ucapan maaf dariku, karena tidak bisa datang waktu itu." Bella menitipkan salam untuk Livia, keponakan Aaron. Saat Livia ulang tahun, Bella dan Aaron sudah berpisah. Tidak mungkin Bella menghadiri pesta gadis kecil itu, sedangkan ia sangat takut untuk melihat Aaron pada waktu itu. "Tentu saja Bella, pasti akan aku sampaikan. Tunggu sebentar ya, maaf." Aaron berpamitan untuk menjawab telfon yang sedari tadi terus bergetar di saku celananya. "Ya, silahkan."

Villain In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang