Hairband and the kiss

1.5K 60 3
                                    

      Navin menghampiri wanita yang sedang berjalan lurus mengikuti jalan setapak, di bawah langit sore. Sosok Bella dari belakang pun, terlihat cantik dan mampu menggetarkan hatinya. "Lo bisa masuk angin nanti!" Tegur Navin yang mengikuti langkah Bella dari belakang. Walaupun Bella tidak menjawab, ia tetap mengikutinya.

"Hey, lo mau ke mana?" Langkah kakinya dan Bella, sudah semakin jauh. Hingga gedung putih yang disewanya itu, sudah terlihat agak mengecil. Membuat Navin semakin khawatir ke mana Bella akan pergi. "Kenapa gak ikut gabung, padahal sudah rapi. Tapi malah angin-anginan di luar." Tambahnya yang meninggikan suara, karena angin berhembus dengan kencangnya.
"Kenapa, keberatan kalau gaun ini gue pakai untuk kotor-kotoran di luar?! Lo mau gue bergabung, agar bisa lo pajang di sana. Bukan begitu?!" Suara Bella, dan sikap yang ia tunjukan masih tetaplah sama. Mengandung dengki di baliknya. "Okay, gue minta maaf!" Ujar Navin mengakui dosa, yang dengan canggung menatap ke sana kemari tanpa arah.

Bella menghentikan langkahnya. Menarik nafasnya dalam-dalam, hingga kedua bahunya naik dan turun secara perlahan. "Saat seseorang meminta maaf, hatinya belum tentu bersungguh-sungguh. Mereka meminta maaf hanya karena merasa sedang terdesak!" Dengan tegasnya, Bella menampar maaf Navin dengan kata-kata yang menyayat hati pria itu.
Navin tak mampu menjawab. Ia mengutarakan maafnya, tulus dari hati. Namun jika tudingan Bella tersebut ia bantah, yang ada hanya akan menimbulkan masalah. Gadis itu tidak suka mengalah.
"Apa lagi yang lo mau?! Lebih baik lo menjauh, sebelum gue benar-benar memukul lo dengan kursi besar!" Tambah Bella untuk pria jangkung di belakangnya, yang bayangannya saja sudah sangat menjengkelkan baginya. "Tapi di sini tidak ada kursi." Ujar Navin menggoda, seakan senang membuat Bella jengkel padanya.

"Ctk!!!" Bella menghentikan langkahnya, dan menyilangkan kedua tangannya sambil menghadap Navin. Saat ia membalikan tubuhnya secara tiba-tiba, Navin seperti terkejut dibuatnya, seakan tidak menyangka, bahwa Bella akan menatap wajahnya.
Seakan mengerti, isyarat dan kerutan yang alis Bella tunjukan. Akhirnya Navin mulai mencoba membuka mulutnya, dan kembali menjelaskan apa yang ia ketahui, atas kejadian kemarin malam. "Gue tahu kalau lo kecewa. Gue sendiri pun baru tahu, bahwa ternyata bokap pernah menjadi teman satu kelas Emi, ibunya Aaron saat kuliah. Karena itulah, dia mengundang keluarga Aaron, walaupun hubungan mereka tidak cukup dekat, sebagai teman maupun kolega." Jelas Navin. "Gue gak nanya!"

"Tapi lo ingin tahu!" Bantah Navin cepat.
Rasanya kesal, setiapkali ia dihadapkan dengan Navin. Karena pria itu selalu saja mampu menjawab, dan membalikan apa yang ia ucapkan saat itu juga. Dan seakan tahu, apa yang ada dalam pikirannya. Apa yang ia inginkan. "Bella. Apa lo, masih mencintai Aaron?" Ucapan Navin bagaikan sebuah batu yang sangat besar dan menghantam punggung Bella dengan begitu keras, hingga membuatnya terkungkung kesakitan. "Apa peduli lo?! Itu tidak ada hubungannya sama lo, bukan?!!"

"Jawab saja!" Pinta Navin menuntut. "Gue rasa tidak perlu! Karena itu tidaklah penting!" Tolak Bella di hadapan wajah Navin, lalu berpaling kembali. "Penting karena gu-" Navin mengatup mulutnya kembali. "Karena apa?" Tanya Bella memaksa.

"Bukan apa-apa."
"Karena apa?!!"

"Forget it!" Navin masih kukuh. Namun dengan nada yang halus, tidak seperti Bella yang terdengar sudah semakin geram. "Karena apa jerk?!!"
"Gue rasa tidak perlu. Karena itu tidaklah penting!" Navin membalikan apa yang Bella ucapkan sebelumnya. Dan itu sudah cukup membuat Bella lelah menanyakan, ucapan apa yang tidak jadi keluar dari mulut Navin sebelumnya.

      Bella mulai duduk di atas hamparan rumput. Ia benar-benar tidak perduli, jika hal itu akan mengotori gaunnya atau tidak. Navin pun ikut duduk di sampingnya, dengan kaki panjang yang lurus ke depan, dan kedua tangan kokoh ke belakang sebagai penopang tubuhnya. Navin mendongakkan kepalanya, menangkap cahaya matahari sambil menyipitkan kedua matanya karena silau.

Villain In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang