The smell of gold dress

1.2K 52 6
                                    

         Navin masih dalam lamunan. Duduk dan membaur dengan sekumpulan kerabat ayahnya, dengan pandangan yang menunduk ke bawah, tanpa menghiraukan segala ucapan mereka. Jarinya masih terus memainkan bibir gelas cantik yang berisikan wine itu, tanpa diteguknya sama sekali. "So, gadis itu, yang akan jadi menantumu?" Cetus pria gagah berjas hitam pada ayahanda Navin. "She's lovely. Sepadan dengan putramu." Tambahnya seraya tertawa.

"Masih belum tahu, iya kan Vin?" Tangan sang ayah mendarat pada bahu Navin, dan saat itulah ia tersadar dari lamunannya. "Huh, kenapa?" Tanyanya bingung. "That girl. Siapa namanya?" Tanya kerabat ayahnya, yang tidak Navin kenal pun hiraukan. "Namanya Bella." Jawab Reza dengan senyuman canggungnya, karena selama ini dia pun ragu, apakah ada ketertarikan antara Bella dan putera sulungnya. Meskipun ia tidak begitu mengharapkan apa-apa. "Dia pacar kamu, Vin? Jadi kapan akan diresmikan sebagai anggota keluarga? Kedudukan sudah jatuh ke tangan kamu, sekarang tinggal mencari pendamping untuk mempertahankannya." Godanya yang masih Navin diamkan, sedang ayahnya melirik kebingungan dalam air muka anaknya.

Pendamping? Gue gak pernah membayangkan jika Bella akan menjadi pendamping gue. Selama gue mengejar-ngejar dan mencoba membahagiakannya, dalam benak pun tak pernah terbersit untuk menikah

"Bella pacar kamu Vin?" Tambahnya masih menunggu jawaban dari Navin yang bangkit dari kursinya, tanpa menjawab pertanyaan itu. "Um, maaf semuanya. Aku harus ke kamar dulu!" Pamitnya terburu-buru. "Oh, ya, sure." Jawabnya bingung sendiri.

Navin mulai melangkahkan kakinya dengan cepat, menembus kerumunan orang-orang itu tanpa menghiraukan para tamu yang menyapanya. Bagi gue, membuat dia sadar bahwa gue selalu 'mencintainya' pun, itu sudah menjadi hal yang paling penting.

Tiba di depan pintu kamar Bella, Navin dipenuhi rasa gugup dalam dirinya. Ia mencoba  memberanikan diri untuk mengetuk pintu itu dan berharap Bella akan membukanya, setelah mengatur napasnya dengan tenag. Biarlah wanita itu memakinya, menampar dan menganiaya tubuhnya hingga mati. Ia akan ambil semua resiko itu, hanya untuk menemuinya lagi setelah apa yang terjadi. Untuk mengungkapkan yang selama ini dipendamnya.

      Sudah pukul sembilan lebih, mereka sudah meninggalkan tempat itu, kurang lebih dari satu jam yang lalu. Sambil mengelus-elus kepala Lily yang tertidur di pangkuannya, Bella terus meneteskan air mata. Dia menyentuhku, bahkan bibir itu pun menciumku. Aku berlari dan berkata menjauh, saat aku tahu, bahwa tinggal adalah keinginanku.

Melarikan diri sebelum menyelesaikan masalah, memang bukan jalan yang terbaik. Namun menyelesaikannya pun, itu sungguh tak sanggup ia lakukan. Yang menjadi pertanyaan dalam hatinya saat ini adalah. Bagaimana, jika ia harus menghadapi Navin nantinya. Dengan adanya kejadian seperti tadi sore di ladang. Mana mungkin ia bisa bersikap biasa-biasa saja, dan seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka.
Yang tak bisa ia hadapi jika bertemu Navin adalah. Bagaimana, jika ia di hadapkan dengan pria itu dan harus mendengar segala ucapan atau bahkan ungkapan yang tak ingin didengarnya. Ia terlalu takut untuk menghadapi pria itu, kaki dan lidahnya terasa lumpuh. Hingga akhirnya ia lari, lari seperti seorang pecundang.

Masalah hidup dengannya ataupun tidak, itu urusan nanti! Karena sesuatu yang diikat atas dasar pernikahan pun, belum tentu abadi. Iya kan Bell? Karna wanita yang ingin ditemuinya dalam kamar tidak kunjung membukakan pintu, akhirnya Navin berniat membukanya sendiri. Ada rasa gundah dalam hati, seakan enggan mendorong kayu besar yang dibalut cat putih itu. Namun ia tetap membukanya. Dan saat itulah, ia menemukan kamar kosong tanpa penghuni. Ia mendapati kasur tanpa wanita cantik yang berbaring di atasnya. Dan ia pun, mendapati gaun emas yang menggantung dalam lemari terbuka. Tanpa tubuh Bella yang mengenakannya.
Navin mulai melangkahkan kakinya, berat. Melihat nampan yang penuh dengan makanan itu tidak disantap sama sekali. Koper yang biasa berdiri di samping meja rias, kini tak ada. Semua pintu lemari pakaian terbuka, membuat angin dari luar jendela masuk, menguasai gaun indah itu seenaknya. Mengetahui Bella pergi, sungguh meninggalkan rasa sakit dalam hati. Kenapa Bell?

Villain In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang