The villains cryin'

1K 45 0
                                    

      Mereka berdua sudah cukup puas, berbaku hantam dan mengungkapkan segala kemarahan yang belum pernah sempat tersalurkan. Baik Navin maupun Aaron, tidak menganggap ini adalah perkelahian yang harus menentukan siapa pemenangnya ataupun usaha memperebutkan Bella. Ini tidak ada bedanya dengan mencurahkan isi hati, kebencian dan kemarahan pada orang yang tak pernah disukai. Dan belum pernah terlunasi.
"Are you happy now?" Tanya Aaron.

"Soal?" Jawab Navin kebingungan. "Bella. Sekarang sudah tak ada lagi pria yang mampu menghalangi lo untuk mendekati Bella. Apa sekarang lo senang?"
"Gue memang mencintai dia, jauh sebelum gue menyadarinya. Saat dia bersama lo pun, cinta gue untuk wanita itu semakin besar. Namun, di saat gue menemukan waktu yang tepat untuk mengungkapkan segalanya, seakan-akan dia selalu berusaha untuk menghalanginya, tidak tahu kenapa!" Jawab Navin yang enggan menutup-nutupi kenyataan itu, hanya untuk mendapatkan pengakuan Aaron. Bahwa peluangnya saat ini memanglah ada.

"Apa yang terjadi padanya? Saat dia meminta gue untuk menyentuhnya, tidak ada rasa senang dalam hati. Justru gue sedih melihat dia yang tampak seperti orang mati." Mendengar ucapan Aaron, meninggalkan rasa penasaran dalam hati. "Maksud lo?"
"Dia datang kemari berniat mengucapkan kata selamat. Bibirnya tersenyum, namun matanya menangis. Tiba-tiba saja dia meminta gue untuk menyentuhnya. Lo pikir gue senang mendengarnya?! Tidak!" Jawab Aaron yang masih dengan kebingungan menggunung, mempertanyakan keadaan Bella. "Gue pikir, kedatangannya untuk mencegah pernikahan ini. Siapa sangka, jika saja Bella berubah pikiran dan menginginkan gue kembali. Tapi melihat dia menangis pilu seperti itu, gue sadar, bahwa ternyata bukan gue lah alasan dia menangis. Tangisan itu bukan karena gue yang akan menikah ini." Ungkap Aaron yang meninggalkan pilu pada hati Navin. "Tell me jerk! Apa sesuatu telah terjadi padanya?" Tambah Aaron lemah.

     Bella masih dengan laju mobilnya yang pelan, bahkan jarum itu tidak mengarah sepenuhnya pada kecepatan 30km/jam. Tak perduli akan pengendara lain di belakangnya yang terus saja memakinya dengan cara membunyikan klakson yang memekakkan telinganya itu. Jangan menangis Bella! Jangan! Pintanya yang mengingatkan diri sendiri.

Kau ini kuat, seperti batu yang tak bisa digerakkan satu inci pun. Sekalipun oleh badai yang hebat!

"Dia selalu saja melangkah tanpa mengetahui batasanya, kapan saatnya untuk berhenti; tanpa tertarik untuk menoleh ke persimpangan lain. Salah jika lo pikir dia datang untuk mempertanyakan cinta yang sama, karena gue tahu betapa hebat wanita itu melawannya! Alasan kenapa hatinya berduka sekarang, mungkin itu semua, karena- gue." Pungkas Navin penuh keyakinan. "You idiot!!! Apa yang lo lakukan sama Bella huh?! Lo salahkan gue karena cara gue mencintai dia itu salah?! Tapi lo sendiri?! Sith!!!" Aaron melepaskan kedua cengkramannya yang menggantung pada dada Navin. "Lo apakan dia sampai dia terlihat begitu menderita?" Kerlingan Aaron begitu tajam, namun tidak mengandung kekuatan di dalamnya.

"Gue mencium pujaan hati lo." Jawab Navin datar. "Cukup berani juga lo huh?!" Cela Aaron dengan kerlingan mematikannya. "Ya." Senyuman Navin merekah begitu saja, seraya mengingat ciuman panas ia dan Bella waktu itu.
"Tanpa sempat gue ungkapkan, perlahan dia sadar, bahwa kasih gue untuknya bukan hanya sekedar kasih yang ditulis dengan pena yang bermerek sahabat. Perlahan pula dia menjauh, dan seakan menghalangi kata yang belum pernah sempat gue ucapkan itu." Aaron hanya menyimak segala isi hati Navin untuk wanita pujaan yang selalu ingin ia persunting itu.

"Tanpa sadar, kita berdualah yang membuat dia sakit. Kita yang selalu egois dan menuntut agar keinginan kita mampu dipenuhi olehnya. Kita yang selalu menempatkannya pada belenggu yang kita sebut surga untuk membahagiakannya." Sambung Aaron cukup lama. "Ya, gue juga cukup sadar akan hal itu. Setelah lo berkata demikian, apa lo akan tetap egois dan membuat wanita itu terus menangis?" Tanya Aaron bersungguh-sungguh.
"Siapa yang tahu? Namun satu yang selalu ingin gue kejar, gue ingin membuat dia membuka hatinya. Hingga dia tertarik untuk menoleh ke persimpangan itu, dan sadar bahwa tempat yang selalu dilewatinya, bisa menjadi bahagianya." Navin tersenyum dengan lembutnya, saat membayangkan hal itu jadi nyata. Seandainya. "Karena bagaimanapun, itu tetaplah hak gue, benar bukan?" Senyum penuh percaya diri dari bibir Navin, membuat Aaron memberikan reaksi dan senyuman yang sama pula.

Villain In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang