Cobek and his smile

954 41 1
                                    

      Bella terus saja memainkan spaghetti itu dengan garpunya, menggulung-gulung makanan tak berdosa itu, dan semakin rumit sajalah simpulnya.

Tatapannya masih seperti hari-hari kemarin, bahkan sejak awal kedatangannya di tempat ini. Kosong, berkedip namun tak hidup. "Ehm, you know-" Bella dengan cepat mengangkat kepalanya, menatap pria itu dan menghalangi kata selanjutnya yang hendak keluar. "Tidak baik membuang-buang makanan seperti itu, Bella!' Itu kan, yang anda coba katakan?" Dengan begitu mantap, Bella menampar pria di hadapannya dengan ucapannya. "Kamu sudah tahu, lantas mengapa selalu melakukannya?!" Tegasnya, namun sorot matanya masihlah lembut.

Biar saja aku tidak makan, kemudian mati. Lalu kau akan berurusan dengan polisi! Batinnya menggerutu sendiri. Ah, gila!

"Aku tidak bernafsu, dan tidak ingin memakan menu ini. Itu saja." Dustanya yang enggan membuat percakapan ini menjadi lebih bertele-tele lagi. Tidak, aku selalu tidak bernafsu mengunyah makanan di atas meja yang sama denganmu. Itu tepatnya! Sambung batinnya kejam
Bella tidak perduli, jika ucapannya bisa saja menyinggung perasaan butler itu. "Kau bisa meminta Yuki untuk membuatkan masakan yang kau mau, kapan pun dan apapun itu. Dan, Bella. Cobalah untuk tidak membuat perasaan seseorang tersinggung dengan bisa dari bibir manismu." Halus tuturnya, lembut nadanya. Namun tatapan pria itu, tetap tajam. Terlihat jelas, bahwa ia merasa keberatan akan ucapan Bella yang bisa saja menyinggung perasaan butlernya itu. "Oh, bukanlah masalah tuan. Mungkin saya yang belum mengerti selera dan makanan kesukaan nyonya." Ujar Yuki dengan senyuman hangat menyembul di bibirnya. Bella diam saja, tidak membalas ramahnya sikap Yuki.

Dan setelah ditunggu-tunggu, akhirnya si mata sipit itu bangkit dari singgah sananya, bersiap untuk berangkat bekerja. Dengan malas dan berpura-pura berseri seperti biasa, Bella mengantarnya ke depan pintu, menggandeng jasnya dan berjalan di belakangnya. "Bella, saya akan pulang cukup malam. Mungkin sekitar jam sepuluh, maaf karena kamu harus makan malam sendirian."
Ya, pergilah, tak usah pulang kembali jika perlu! "Oh, oke. Tidak apa-apa!" Jawab Bella, dan pria itu lekas menundukan kepalanya untuk mendaratkan ciuman pada bibir Bella. Gadis itu masih saja terkejut, setiap kali ia mengantar pria di hadapannya ke depan pintu untuk pergi bekerja, lalu mencium bibirnya secara tiba-tiba. Dalam hati ia selalu berdoa, berharap agar ciuman itu segera usai dan ia bisa kembali bernafas dengan lega tanpa harus menahannya. "Kamu jangan banyak ke luar rumah ya, istirahat saja." Pintanya lembut. "Iya."

"Ya sudah, saya pergi dulu."

Kau terus saja berkata hendak pergi, namun yang kau lakukan hanya terus mencium dan menjamahi setiap bagian tubuhku. Tidak kunjung pergi dan terus mengulang-ulangnya lagi.

"Ittekimasu!" Pamitnya yang kali ini akan benar-benar pergi. "Itterasshai." Jawab Bella dengan senyuman yang dipalsukan. Mengapa aku harus melakukan setiap perintah yang ia sampaikan?! Batinnya mempertanyakan, seraya melambaikan tangan dan senyuman itu masih ada.

Bella selalu saja menggerutu kesal dalam hatinya, setelah pria itu pergi. Bella ingat sekali, saat kesepakatan ini dibuat, pria itu meminta setiap kali dia hendak pergi dan pulang ke rumah, Bella harus menyambut dan mengantarnya dengan pelukan, ciuman hangat dan ucapan 'selamat jalan, sampai jumpa, selamat datang kembali', dalam bahasa negaranya. Tapi biarlah, toh itu bukan permintaan berat. Alasannya mengeluh hanya karena tak ingin berlama-lama berdekatan dengan pria itu saja, bukan karena kewajibannya yang diminta pria itu.

Bella bersiap-siap untuk pergi ke luar, walaupun tadi, pria itu sudah melarangnya untuk tidak meninggalkan rumah, namun ia tetap bersikukuh. Butler yang kerap membuat Bella jengkel itu pun, terlihat sangat jelas sedang memperhatikan gerak-geriknya. Bella yakin sekali, wanita itu akan mencatat segala dosanya karena pergi ke luar, dan akan melaporkannya pada majikannya nanti. Biar saja! Bella enggan peduli.

Villain In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang