Our lovely night

1.5K 48 0
                                    

'Cintaku berat, rinduku dahsyat, hati bergetar menahan hasrat.'

     Tere sudah tiba di kediaman Ryuzaki, untuk mendandani Bella yang hendak menghadiri pesta pernikahan kerabat kerja kekasihnya. Sedikit canggung, saat mengetahui bahwa Tere lah yang merancang busana untuknya. "Siang Bella, oh, kamu tampak semakin cantik saja." Pujinya begitu melihat Bella yang sekaku patung Yunani. "Terima kasih mbak. Mbak Tere apa kabar?" Jawabnya yang balas merangkul pinggang Tere. "Oh, sangat baik. Kenapa tidak mampir-mampir ke toko, padahal Natly kan sering ke sana." Entah mengapa, sedikit nyeri rasanya saat Bella mendengar nama Natly disebut-sebut. Sudah sekian lama, ia tidak pernah berkumpul dengan sahabatnya.

"Um, anu- apakah, Natly baik-baik saja?" Tere dengan cepat menolehkan kepalanya, beriringan dengan begitu lebar matanya terbuka. "Lho, memangnya, kalian jarang bertemu?" Tanya tidak percaya. "Uh, begitulah."
Ia merasa tak rela, jika harus mendengar percakapan mengenai Bella dengan sahabatnya. Karena ia tak suka, percakapan itu membuat raut wajah Bella berubah mengandung luka seketika. "Bagaimana kalau kita mulai saja siap-siapnya!" Bella hanya mengerling pada pria itu. Dan Tere, ia menuruti permintaan Ryuzaki dan mulai membantu Bella berdandan.

"Ibu, nanti datang ya."
"Datang, ke mana Ryu?"
"Kita akan segera menikah."

"Ya, saya dan Bella." Melihat ekspresi kebingungan diwajah Tere, Ryuzaki pun membuatnya menjadi semakin lebih jelas. Bella yang menyaksikan hal itu hanya diam membisu. "Oh, tampaknya terdengar dadakan. Atau, memang sudah direncanakan sejak lama?" Tanyanya baru berkomentar. "Ya, cukup lama, tidak begitu mendadak. Iya kan, Bella?"

"Huh? Ya." Jawab Bella datar.

       Bella memasuki ruangan yang begitu ramai itu dengan Ryuzaki yang menggandeng tangannya. Gemerlap cahaya lampu, begitu menyilaukan baginya. Sudah sangat lama rasanya, Bella tidak memanjakan matanya dengan hal-hal yang begitu gemerlap seperti pesta.

Hatinya masih merasa tidak tenang, karena ia harus mewakili Ryuzaki untuk menyalami kerabat-kerabatnya yang tak Bella kenal sama sekali. Benar saja, usai menemui kedua mempelai, pria itu berniat pergi begitu saja. Bagaimana mungkin ia bisa melakukan hal semacam itu, tidak mungkin betah pula rasanya. Yang ada, semakin kuat keinginan Bella untuk pulang ke rumah. "Maaf Bella, saya harus ke kantor sekarang. Kamu di sini untuk beberapa saat ya, tidak enak kalau kamu langsung pulang juga. Yuki pun masih tetap menunggu di lobi." Ryuzaki mencium kening Bella yang sedikit berkeringat, tampaknya wanita itu benar-benar mulai merasa gugup karena akan ditinggalkannya.

Aku merindukan iblis yang begitu indah itu.

"Ya, tapi aku tidak akan bisa lama kamu tahu itu kan?" Rengek Bella yang kini bak anak kecil. "Ya, tidak masalah. Alright, I'm off then." Pamit Ryuzaki yang menggenggam kedua tangan Bella lembut, mencoba menenangkannya. "Kay." Usai Ryuzaki melepas Bella sendiri, dalam hamparan orang-orang itu. Bella mulai menejelajah seluruh penjuru dengan kedua bola matanya.
Alright, sekarang aku bagaikan Alice yang sedang mengitari wonderland. Bella menghembuskan napas berat. Ia hanya duduk di meja seorang diri, hanya ada gelas yang berisikan champagne yang menjadi temannya. Matanya terus saja menjelajahi orang yang berlalu-lalang. Sangat membosankan, rasanya mau mati. Pria itu berkata bahwa keberadaannya di sini yaitu untuk menyapa beberapa kerabatnya yang jika saja menanyakan ketidak hadirannya, namun sedari tadi Bella duduk sendiri di sini, tak ada satupun orang yang menghampiri dan mengajaknya bersalaman. Meskipun Bella pernah bertemu dengan beberapa orang-orang itu. Hingga, sampai akhirnya seorang pria yang enam puluh persen rambutnya memutih, menghampiri mejanya.

"Excuse me gorgeous." Begitu ramah dan hangat tutur kata pak tua itu, hingga membuat Bella sempat terkungkung. "Oh-" Bella bangkit dari kursinya. "Hi there!" Pria tua itu mengulurkan tangan kanan yang tadinya mencengkram tongkat dengan secara kuat-kuat itu, dan mengajak Bella bersalaman. "Oh- halo." Senyuman dan sorot Bella kontan menghangat membalas keramahan yang pria di hadapannya suguhkan, seakan sangat senang rasanya bertemu pria itu.
"Anda bersama Ryuzaki bukan? Di mana dia sekarang?" Pak tua itu tampak penasaran, mencari-cari keberadaan Ryuzaki. "Sayang sekali tuan, dia harus ke kantornya setelah menemui kedua mempelai." Jawab Bella seakan sakit hati sendiri menyampaikannya, karena ia harus membuat pria tua baik itu terlihat murung nantinya. "Oh, sungguh disayangkan. Saya merindukan anak muda penuh ambisi itu. Dan, nona manis, perkenalkan saya Stanly, kerabat dari kekasihmu." Ujarnya yang sempat menyesali karena tidak lekas menyapa Ryuzaki saat pria itu masih ada. "Oh, maafkan atas kelancangan saya, senang bertemu anda Mr. Stanly. Dan, um, bagaimana anda tahu bahwa saya— kekasih Ryuzaki?" Tanya Bella ragu.

"Kau Bella bukan? Dia sering menceritakan wanita yang bernama Bella, saya sangat yakin, bahwa itu adalah kau; saat pertama kali saya melihat mata indah itu." Pujian dari pak tua di hadapannya itu, sedikit membuat rasa jengkel dalam hati Bella lenyap. Berapa lama pria itu akan terus menyombongkan hubungan ini?! Batinnya mencaci maki Ryuzaki.
"Oh, begitu rupa-" Pandangan Bella dicuri oleh sosok jangkung yang melintas di antara kerumunan para tamu undangan. Pria jangkung dengan kepala menunduk. Tengkuk yang ia kenali, dan seakan berniat melarikan diri ke arah pintu luar. "Ya, sayang sekali dia sudah pergi. Titipkanlah salamku kepa-" Bella memotong ucapannya. "Maaf tuan, tampaknya saya harus pulang sekarang juga. Terima kasih atas percakapannya, senang berkenalan dengan anda. Permisi." Bella berlari begitu saja, hingga langkahnya tiba-tiba terhenti dan ia kembali menoleh pada tempat di mana pak tua itu berada. "Oh, dan saya akan menyampaikan salam tuan untuk Ryuzaki, permisi." Pria itu hanya tersenyum, seraya menyaksikan begitu gesitnya Bella mengambil celah di antara kerumunan orang-orang itu. "No need to rush young girl!" Bisiknya sendiri seakan Bella akan mendengarnya.

No, wait! Kenapa aku lari, mengapa aku mengejarnya?! Jika itu pun benar dia, mengapa aku mengejarnya seakan ini yang benar-benar menjadi keinginanku. Batin Bella seakan baru menyadarinya seraya terus berlari. Aku pergi untuk menghindarinya, dan menutup kesempatan itu. Lantas mengapa kakiku seakan enggan berhenti dan ingin terus berlari?!
     Bella masih dengan langkah kakinya yang setengah berlari. Napasnya terengah-engah, bukan karena lelah mengejar berlari, namun karena tengkuk yang selalu dikenalnya itu.

Saat ia merasa kehilangan jejak pria itu, Bella memelankan langkah kakinya dan mulai mengelilingi segala sudut dengan kedua bola matanya. Ia dihadapkan dengan pintu lift, saat ia hendak menekan tombolnya untuk meneruskan langkah mencari pria itu, tiba-tiba saja tangannya ditarik dengan kuat. Dan, ya— dialah orangnya, dia adalah orang yang selalu coba Bella hindari.
     Tanpa kata-kata, sapaan ataupun menanyakan kabar masing-masing, keduanya diam. Navin menarik wanita itu, dan didekapnya tubuh Bella dengan erat.

Gejolak dalam dadanya begitu bergemuruh meneriakan kata rindu yang selalu disangkalnya. Darah yang mengalir dan memenuhi tubuhnya seakan meluap, membuncah memenuhi batasnya.
      Sedangkan Navin, begitu bahagianya ia bertemu dengan sang pujaan. Tak mampu rasanya lidah berucap, nyeri pikirannya hendak merangkai kata-kata namun tak bisa. Lupa rasanya akan luka dan amarah yang ingin ia luapkan pada Bella. Seakan semua itu sudah tidak lagi bermakna, asalkan ia mampu menatap wanita yang gemar menyiksanya itu. Hingga tidak perduli bahwa ini di dalam lift, ditonton orang-orang melalui CCTV dan akan menjadi bahan cibiran atau hujatan sekalipun. Navin tetap melumat bibir Bella dengan penuh damba, dipenuhinya segala ruang dalam mulut wanita itu olehnya. Aku merindukan iblis yang begitu indah ini!

Lift berbunyi, menandakan bahwa mereka telah sampai di lobi. "Gue harus pulang." Bella resah sendiri, takut jika Yuki akan memergokinya berduaan dengan seorang pria, dan melaporkan hal itu kepada majikannya. "Come!" Navin tak ingin mengulang kesalahan yang kedua kalinya, enggan ia menelan kembali penyesalan karena tidak menggenggam tangan Bella dengan erat pada waktu itu.
Navin tak rela, kembali melepaskan genggamannya, kemudian saat ia terjaga— Bella lenyap meninggalkannya. Ia menghampiri resepsionis, meminta kamar dengan terburu-buru karena Bella terus merengek ingin pulang. Navin sudah sangat tidak ingin mementingkan harga dirinya, ia ingin mencurahkan segalanya. Dan betapa menderitanya ia dimakan kerinduan akan Bella.

Setelah menerima kunci, ia kembali membawa Bella pada lantai atas. Saat berada di dalam lift, mereka membisu, seakan dikalahkan oleh rasa canggung yang tiba-tiba saja tercipta. "Bella." Dipandanginya wajah Bella dengan mata indahnya yang bergetar. Wanita itu tidak berkata-kata, namun seakan hendak menyampaikan sesuatu namun tak bisa. Diraihnya helaian rambut Bella, agar ia bisa menciumnya.

>>> >>>

"Bukan berarti aku mencintaimu, dan bukan berarti kita mampu bersatu."

Villain In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang