Under the moonlight (Part 2)

1.8K 48 7
                                    

   Navin kembali menggenggam tangan bella, ia kerap menciumi punggung tangan itu, pipi bibir hingga keningnya. Semua tetaplah sama, dingin bagaikan es. Sudah hilang kehangatan bella, tak mampu dirasa lagi oleh kulitnya.
"Apakah sebaiknya kita habiskan malam disini? Tapi, itu akan membuat mereka merasa khawatir. Lagi pula, kini, ada dua malaikat cantik yang menunggu kita di rumah." Navin melepaskan genggamannya, mencium kening Bella kembali, dan membawa istri kesayangannya pulang ke rumah mereka.

"Kita pulang, sayang." Sebelum menyalakan mesin mobil, Navin menyeka airmatanya yang tersisa.

"Selamat datang dirumah, Bella-ku." Navin membisikan kata itu dengan lembut, saat mereka tiba didepan gerbang rumah megah itu. Keluarga berduyun-duyun ke luar, menyambut mereka berdua, dengan dilanda rasa khawatir, mengapa mereka pulang sepagi buta ini. "Mereka menunggu kita." Ia memangku tubuh wanitanya yang begitu lemah dan dingin itu, masuk kedalam rumah.

    Sudah satu bulan lebih sejak Bella pergi meninggalkan rumah ini, dan ia pulang pada rumah baru yang jauh lebih indah.

Kencangnya rumor yang saat di hari pertama Bella meninggal itu pun, sudah menyebar. Mereka bertanya-tanya, mengapa Navin, sang suami, tidak menampakkan mata bengkak dan satu tetes air mata pun, meskipun sang istri dikebumikan.
      Banyaknya berita miring yang ditujukan kepada sang raja yang sedang berduka karna ratunya hengkang tunggang langgang membawa cinta meninggalkan istana. Bahwa ia tidak mencintai ratunya, bahwa ia tidak membebani sama sekali kepergian ratunya.

Namun semua rumor itu, bukanlah masalah yang akan menghambat hidupnya, maupun menghancurkan keluarganya. Merka tidak meladeni itu sama sekali, walaupun begitu kuatnya berbagai tudingan terlontar.

"Tuan, ada kabar dari keluarga Gustian." Ryuzaki menyimpan cangkir itu ke atas piringnya. "Apa itu Yuki?"

"Nyonya. Nyonya Bella, meninggal dunia." Jantungnya sakit teramat sakit, mendengar wanita yang dicintainya tiada. "Bagaimana dengan bayinya?"
"Mereka selamat. Nyonya, menghembuskan nafas terakhirnya saat melahirkan bayi pertama."

"Ketahuilah, bahwa wanita itu berbahagia Yuki. Siapkan pakaian saya untuk ke Melbourne besok." Ia tersenyum hangat pada Yuki, bangkit dari kursinya dan menuju pada ruang kerjanya.

Ya, saya tahu, nyonya berbahagia.

      "Tidak mungkin kau tidak menangis!" Tegur Natly, yang ikut duduk pada sofa yang sama dengan Alma. "Dulu, loe ingat, saat Bella hendak menikah dengan aaron, loe menangis, bahkan sampai tersungkur, runtuh jatuh ke tanah bahkan sampai kenghilangan akal sehat, hingga akhirnya loe mengalami celaka. Namun kini, Bella pergi. Loe gak meneteskan air mata sama sekali, apakah kepergian Bella itu tidak berarti?" Tajam pandangan Alma, menusuk ke dalam mata Navin.

"Dia adalah Cinta. Meskipun aku jatuh karenanya, bukan berarti dia tak lagi ada.
Justru karena ialah Cinta, bukan berarti akhir. Hanya karna aku, tak mampu bangkit lagi untuk memandang wajahnya." Kata yang navin ucapkan, cukup memukul hati mereka, dan cukup menjadikan itu sebagai jawaban.
"Apakah dengan terus menangis, yang ada akan bertahan? Dan yang hilang akan kembali? Biarlah mereka berkata apa, telingaku akan tetap tuli enggan mendengarnya." Tambahnya.

    Hari demi hari, berganti dan terus saja menggantikannya menjadi tahun yang sudah terhitung ke sebelas. Navin tetap mampu memimpin istananya, dengan bantuan kedua malaikat yang hadir dalam hidupnya.

Keberadaan mereka bagaikan penghangat, pengobat rindu pada pujaannya. Kebisingan yang mereka buat, bahkan hal yang mereka lakukan, tatkala, begitu mengingatkan ia pada sosok Bella. Merekalah yang kembali menghidupkan dunianya. Dunia yang ia pimpin tanpa adanya Bella.

Villain In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang