Too rough

2K 70 0
                                    

Mentari mulai naik, mengintip pria kekar yang berbaring di atas kasurnya. Pendengarannya mulai menangkap teriakan burung-burung yang turut ikut membangunkanya. Kesadaranya mulai terkumpul, walaupun belum membuka mata, dia mampu merasakan seseorang yang duduk di sampingnya sedang mengguncang kakinya. Membuat suara gemerisik pada selimut tebalnya.

Benar saja, makhluk kecil itu langsung menyeringai sambil memiringkan kepalanya, karena mengetahui pria yang dibangunkanya sudah membuka mata. Aaron ikut menyeringai dan mengucapkan 'Selamat pagi' pada Livia. Karena Aaron sudah mulai bergegas untuk mandi, gadis itu beranjak ke luar dan kembali ke bawah menghampiri sarapanya.

"Pagi." Sapa Aaron, dan sudah ada Regina di ujung meja makan, serta Livia dengan tumpukan pancake di hadapanya.
"Emh, pagi." Sapa Regina dengan mulut yang hampir penuh oleh menu sarapan, sampai membuat suaranya tak jelas saat mengucapkan kata pagi. "Berangkat dulu ya."
"Lho, sarapanya?" Aaron hanya menggelengkan kepala, mencium pipi kenyal Livia dan meraih dua buah pancake dengan sigap. Berangkat bekerja dengan tergesa-gesa, bahkan kemejanya saja belum dimasukkan.

"Rapikan dulu kemejanya!" Teriakan Regina menggema di ruang makan. "Later!" Jawab Aaron yang lenyap dari balik pintu yang ditutup kembali oleh pelayan. "Careless!"

Navin, sulit menjelaskan keadaannya saat ini. Manusia yang tak jelas, apa yang sedang dia lakukan dan apa yang ada dalam benaknya pagi ini. Dia masih saja menyandarkan tubuhnya pada bantal yang menempel di sandaran kasur. Matanya sudah membuka sejak jam dua dini hari sampai saat ini. Dia tidak bisa tidur, atau mungkin tak ingin tidur.

Kantung matanya saja hitam, persis seperti wanita yang usai menangis dan seluruh kantung matanya hitam karena lunturan mascara. Rambutnya kusut, berantakan. Entah, apa yang dia perbuat pada rambut-rambut tak berdosa itu. Kepalanya terasa berat, derita umum bagi setiap orang yang begadang semalaman.

Masih jam enam, namun wanita di sampingnya belum menyadarkan diri juga. Berapa lama kau akan meminjam kasur navin, Bella? Rasanya sangat menggiurkan melihat orang lain tidur begitu nyenyak, sedangkan Navin? Tidak.

Mengingat perbuatannya kemarin sore, membuatnya merasa takut sendiri untuk tidur. Otaknya tak bisa berhenti memikirkan perbuatan konyolnya, meniduri Bella seperti seorang hidung belang yang akan memakannya. Dan kini semakin dibuat gila oleh ribuan ilusi bedebah, yang entah sejak kapan dia ciptakan.

Konyol! Itu yang dia rasa. Belakangan selalu merasa was-was tiap kali bertatap muka dengan Bella. Setiap kali Bella terlalu dekat dengannya, Navin dibuat mati kutu tak bisa berbuat apa-apa. Salah tingkah, kini menjadi kondisi yang paling tidak dia sukai belakangan ini, namun selalu terjadi saat dia di hadapkan dengan Bella. Rasanya ingin mati saja! Menyadari perasaannya kepada Bella, menutup-nutupi kecemasannya diam-diam. Bertemu setiap hari, melakukan berbagai kegiatan bersama. Oh, Tuhan! Batinnya.

Begadang bukan solusi, dia sadar betul hal itu hanya membuat kondisinya semakin buruk. Poor little guy! Tapi bagaimana lagi, saat dia mencoba untuk memejamkan mata, pikirannya selalu terisi oleh Bella yang mondar-mandir dengan seenaknya. Dan saat dia membuka mata pun sampai tidak tidur, Bella masih seenaknya saja mengendalikan otaknya.

Rasanya sudah sangat menjengkelkan, bahkan terlalu menjengkelkan! Semakin lama dia bersama Bella, semakin sering menghabiskan waktu dengan gadis itu. Dia makin gila! Rasa sabarnya runtuh, keinginan untuk membangunkan Bella yang dia tunda-tunda sedari tadi pun, akhirnya diluapkan. "Bell, bangun!" Wanita itu masih pada tempatnya, bahkan tak bergeming sama sekali. Navin mulai mencoba menggerakkan tangan Bella, namun masih tak sadar juga.
Karena kesal, Navin kembali mengacak-acak rambutnya dan terlihat semakin tak jelas saja bentuk rambut itu. Menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dan memulainya lagi. "Bella, bangun Bell! BELLA!!!"

Villain In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang