An invitation

962 48 4
                                    

"So, you guys still berantem? Fighting, diem-dieman huh? Gue tuh heran sama lo pada, nanya Navin, gak jelas. Sekarang gue tanya lo nih, gak dikasih tahu juga?" Alma merayu Bella, karena ia sudah benar-benar mati dilanda penasaran. Dan wanita yang duduk di hadapannya saat ini pun, hanya memberi tatapan mata yang terasa sangat dingin, sungguh.
"Ooo...kay!" Alma menyerah, untuk tidak mengganggu iblis yang begitu dingin di hadapannya itu.

"Gue gak mau ngomongin soal, dia. Sungguh, gue sudah muak dipusingkan karena cinta atau pria manapun!" Pungkas Bella lama. "Okay, kalau itu yang lo mau. Tapi, apa lo yakin, gak masalah. Kalau hubungan di antara lo dan Navin menjadi renggang, hanya karena kalian tidak berusaha menyelesaikannya? Setidaknya agar lebih baik, dan gak ada kesalahpahaman." Bujuk Alma meminta, setidaknya jika Bella enggan menerima cinta Navin, maafkan dan luruskan saja, apa yang terjadi di antara mereka sebelumnya. Entah pertemanan mereka akan berakhir atau tidak, bicarakan. "Ya, gue tahu! Memang gak seharusnya gue menggantungkan dan meninggalkan masalah begitu saja. Tapi saat ini, ada hal lain yang harus gue selesaikan. Gue, muak akan semua perasaan ini." Alma tidak begitu mengerti akan apa yang Bella bicarakan, pada siapa, dan akan hal apa yang sebenarnya begitu mengganggu dirinya. Namun dari raut wajah wanita itu, sungguh jelas bahwa dia sedang dilanda sesuatu hal yang begitu mengganggunya.

"Ya sudah, kalau memang ada hal lain yang harus lo selesaikan terlebih dahulu. Gue juga setuju, kalau lo mau menyelesaikannya satu persatu. Tapi gue harap lo tetap mau adil dan mau menyelesaikan masalah lo dengan Navin. Karena bagaimanapun, itu juga penting!" Ujar Alma berusaha menenangkan "Kay." Jawab Bella lemah.
"Anyway, lo kebanyakan uang memang? Di apartment terus, kerja nggak!" Singgungnya yang mempertanyakan ketidak hadiran Bella di kantor setelah sekian lama, bahkan sempat terbersit, mungkin Bella pindah karena muak digoda Ethan. "Gue-" Alma melirik Bella dengan sangat hati-hati, dari balik gelas yang menutupi bibir dan hidungnya itu.

"Gue lagi, butuh ketenangan saja; beberapa waktu." Dustanya cukup lama. "Oke! Gue cuma takut saja loe kelaparan, terus megap-megap di kamar karena malas keluar, apalagi kerja." Goda Alma berusaha menghibur sahabatnya yang memasang senyuman mencela.

     Saat mereka sedang asyik tertawa, pintu rumah terbuka lebar dan menghasilkan suara yang cukup keras. Navin dengan napas terengah-engah, kemeja lusuh, kusut karena baru selesai bekerja. Namun raut wajahnya terlihat seperti seseorang yang sedang merasa lega.

Ya, lega karna melihat Bella! Karena ia mampu bertemu dengan gadis itu kembali. "Please, jangan pergi! Gak masalah, kalau lo gak mau gue untuk mendekat. Tapi setidaknya, biarkan gue bicara!" Navin mencoba menahan Bella yang dari dalam meja makan sana, sudah terlihat akan meninggalkan kursinya. "No need!" Bella tetap bangkit, dan berjalan menuju ke luar. Saat tubuhnya sejajar dengan Navin di depan pintu, ia sempat melirik pada wajah pria itu. Sudah cukup lama, ia tidak melihat wajah Navin sedekat ini. Sudah lama ia tidak berjumpa dengannya, lama tak menghabiskan waktu menyenangkan dengan pria itu. Jika diingat-ingat, semenjak ia berpisah dengan Aaron, ia dan Navin lebih sering berkelahi dan berjauhan.

Dan saat ia mengerling pada pria itu dengan cepat, ingatan bahwa ia pernah menyentuh bibir itu pun datang lagi. Ingatan, bahwa ia dan Navin pernah berbagi sentuhan.

Navin menyentuh tangannya, ia menyelipkan jari-jemarinya di antara jari Bella seraya menatap matanya dalam. Seakan sedang memohon, Navin menyerukan nama Bella dengan lirihnya. "Bella." Bisiknya lemah. Wanita itu berlalu, tanpa mengijinkan Navin melanjutkan kalimat selanjutnya.
"Bella apa lo, baik-baik saja? I've heard about that!" Langkah kaki Bella terhenti, karena terkejut mendengar ucapan Navin di ambang pintu.

"Soal Aaron, gue juga mendapat undangannya. Lo, gak akan datang, kan Bell?" Alma yang berada di dalam sangat terkejut, karena mendengar kata undangan yang Navin maksud barusan. "Not your business!" Tanpa menoleh pada Navin, tanpa berpamitan kepada Alma, Bella berlalu begitu saja.

"So, undangan apa itu? Tolong jangan bilang kalau Aaron-"
"Menikah. Ya, Aaron akan menikah!" Jawab Navin mendahului, yang membuat jantung Alma terasa nyeri. Walaupun ini tidak begitu ada hubungannya dengan Alma, namun tetap saja. Mendengar hal itu membuat ia terkejut dan benar-benar tidak menyangka. Dan, mungkinkah hal lain yang mengganggu Bella, adalah Aaron? Kini Alma seakan mampu melihat dan merasakannya, alasan yang membuat wajah Bella menyembunyikan banyak arti.

Wajar saja Bella tampak begitu kebingungan dan terpuruk. Saat ini, banyak sekali hal yang begitu mengganggunya. Menerima kenyataan pria yang dulunya hendak meminangmu, kini dalam kurung waktu yang bisa dibilang singkat berniat meminang wanita lain. Belum lagi, konflik percintaan lain pun, terjadi di antara dirinya dengan sahabat.
Alma menaruh simpati kepada sahabatnya yang sedang dilanda kegundahan hati yang bertubi-tubi itu. "Sejak kapan, lo tahu kalau Aaron akan menikah? Dan lagi, kok bisa, si Aaron yang belum lama putus sama Bella, sekarang mau menikah? Gila!" Tanya Alma tak habis pikir. "Gak tahu! Gue juga, belum lama mendengar hal ini dari bokap." Jawab Navin tidak yakin. "Kapan memangnya?"

"Besok." Jawab Navin segera. "Besok? Gila! Terus kenapa Bella gak kasih tahu gue sih?! Ctk! Menurut lo, baiknya gue juga datang gak ya?" Alma menggigiti ibu jarinya, sambil berpikir mungkinkah jika ia dan Dimas juga harus ikut menghadiri acara pernikahan temannya dan sekaligus mantan tunangan Bella itu atau tidak. "Gak perlu!" Tegas Navin. "Tapi kan, gak enak lah Vin!"

"Kalau lo merasa tidak enak jika tidak datang. Harusnya dia juga merasa tidak enak, karena tidak mengundang orang yang jelas-jelas sering berkumpul dengannya, dulu!" Nada bicara Navin terdengar sangat tegas dan menekan. "Iya sih. Terus, lo mau ke mana lagi?" Tanya Alma yang melihat Navin berkesiap bangkit. "Memastikan sesuatu!" Akhirnya Navin pun ikut pergi meninggalkan rumah Alma, sama halnya dengan Bella.

      Bella mempersiapkan dirinya. Ia sendiri tak tahu, apa yang sebenarnya ia lakukan saat ini. Kepuasan apa yang akan ia dapat, jika ia melakukan hal itu. Tapi untuk yang terakhir kalinya, ia sungguh tidak bisa menahannya. Lebih baik begini, daripada ia harus tertinggal karena ditelan oleh rasa penasaran yang melanda.

Orang yang akan ditemuinya pun, sudah mengirimkan satu pesan singkat untuk memberitahukan keberadaannya dan sudah siap untuk bertemu dengannya.

Sudah tiba di tempat perjanjian. Aaron sudah terlihat sedang berdiri di depan meja makan, sambil memasang wajah yang penuh senyum, ia menyambut kedatangan wanita yang begitu dicintainya itu.

Rasanya memang berat, saat ia harus berjalan semakin dekat pada tempat di mana Aaron berdiri tegak. Namun, semua resiko itu ia ambil, karena ini pun adalah keinginannya. Menemui Aaron malam ini, adalah hal yang diinginkan oleh hatinya. "Hay, apa kabar Bell. Kamu, selalu saja tak pernah bisa membiarkan aku untuk tidak mengucapkan kata cantik." Dengan senyuman yang begitu tulus, Aaron memuji penampilan Bella, seraya mempersilahkan mantan tunangannya itu untuk duduk. "Mph, terima kasih. Sejak kapan kamu, tinggal di hotel seperti ini?" Sambil mengitari segala objek yang ada di dalam hotel dengan kedua bola matanya, Bella mulai berbasa-basi.
"Ah, tidak, aku gak tinggal di sini. Semenjak, ehm- mengingat sebentar lagi aku akan, berumah tangga, jadi aku putuskan untuk tidak menempati apartment itu lagi. Dan berhubung di rumah keluarga pun sedang berkumpul, ada banyak keluarga dan mereka turut mempersiapkan hari esok. Jadi, aku memutuskan menginap di sini." Jelasnya canggung sendiri. "Ah, I see."

Villain In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang