Creepy 'Kindness'

1.4K 57 0
                                    

  Melihat cahaya dari dalam pintu yang terletak begitu pojok itu, kaki Bella dengan ringan mendekatinya. Andai saja ia tahu bahwa ada ruangan lain, yang lampunya masih menyala di dalam gedung yang begitu luas ini. Mungkin ia takkan susah payah mengitari segala penjuru sampai dua kali.

Saat ia melongokan kepalanya, ia mendapati surga. Kurang sempurna apalagi gedung yang biasa disewakan untuk acara pernikahan dan pesta-pesta lainnya ini. Setumpukan, bahkan berderetan buku itu tersusun rapi dalam setiap lemari.
Hanya ada satu yang kurang, perapian. Andai saja ada perapian, pastinya perpustakaan ini semakin sempurna dan begitu nyaman. Namun, seperti ini saja sudah lebih dari cukup. Dan sempurna untuk dijadikan sebagai hari membaca.
Pria itu duduk di kursinya, memakai kacamata yang biasa ia pakai untuk membaca pun bekerja. Cahaya lilin dan lampu-lampu kecil dalam ruangan yang redup ini, membuat setiap helaian rambut dan mata coklat pria gagah itu semakin menyala. Berkilauan layaknya bara. "Bella. Sudah bangun, kenapa? Makin gak enak ya badannya?" Dalam hitungan detik, suara Navin yang tanpa menoleh ke arahnya membuyarkan lamunannya yang sedang memuja-muja perpustakaan, dan termasuk pria yang berada di dalamnya. Bella secara refleks menyentakkan diri karena terkejut. Sejak kapan Navin menyadari keberadaannya. Dan apakah pria itu mengetahui, bahwa ia sedang berbinar-binar memandangi dirinya yang sedang membaca?

"Huh? G-gak, sudah lebih baik kok. Berkat jahe hangat lo tadi, sama baju-baju tebal ini. Badan gue terasa jauh lebih baik." Kakinya sudah berani berjalan masuk tanpa canggung, dan mulai mendekati Navin. "Syukurlah kalau sudah baikan. Terus kenapa malam-malam kebangun, nanti yang ada sakit lagi, karena kurang istirahat." Mendengar pertanyaan Navin, Bella baru sadar, bahwa niatnya mengitari seluruh ruangan ini adalah untuk menanyakan keberadaan dan keadaan adiknya Lily. "Oh, iya. Gue cari Lily, gue takut dia nangis atau gak betah karena gak gue temani. Dia di mana vin?"

"Kalau lo cari Lily, dia ada di kamar gue. Sudah tidur, dan sudah makan malam kok." Jawab Navin yang menutup bukunya dan membuat Bella bernapas lega, ternyata adiknya sudah tertidur pulas dengan keadaan perut yang sudah terisi. Walaupun ia yakin bahwa Navin, keluarga maupun teman-temannya takkan membiarkan adiknya kelaparan; namun ia tetap saja cemas, takut jika Lily tidak mau makan, ataupun hanya makan sedikit karena merasa sungkan, karena belum terbiasa dengan teman-teman kakaknya itu.
"Memang, tadi sempat menangis sih, karena nanyain lo terus. Lalu gue bujuk, main sebentar, dan dia langsung tidur. Karena gue takut istirahat lo terganggu. Ya, jadi gue pikir, lebih baik gue istirahatkan dia di kamar gue saja." Jelas Navin seraya bangkit dan menyelipkan buku yang baru selesai dibacanya kembali pada rak. "Ah, begitu. Syukurlah! Gue takut saja, dia merasa gak nyaman karena gue gak ada di dekatnya." Bella merasa canggung, bukan karena berduaan bersama Navin. Ia hanya takut, jika Navin memergoki dirinya yang sedang menatap dan menelusuri setiap bagian dan objek utama, yang ada di dalam perpustakaan ini. Yaitu dirinya. Navin dengan piyama biru gelap nyaris hitam, rambut terlihat sedikit lembap sehabis mandi serta kacamata, terlihat seperti mahakarya.

"Eng, gue baru tahu, kalau di sini ada perpustakaannya. Besar, dan kayaknya cukup banyak juga koleksi bukunya." Tanyanya mencoba membuka topik lain, seraya membiarkan jarinya merayapi buku-buku itu. "Ya, kalau orang yang lewat hanya melihat sekilas, gak akan sadar. Ditambah letaknya di sudut, gue juga gak yakin kalau yang lain tahu kalau di sini ada perpustakaan. Kalaupun mereka lihat, pasti mereka tidak akan mengira, bahwa ini adalah perpustakaan. Sama kayak lo, kan?" Jawab Navin yang mengangkat satu alis tebalnya.
"Ya. Tadinya gue pikir, cuma kamar biasa saja." Setiap kali bella memulai percakapan, pria itu selalu tidak menjawabnya kembali. Hanya sedikit dan beberapa saja yang ia ladeni. Yang mana membuat Bella merasa canggung sendiri. Meskipun tidak menegetahui sebabnya, namun Bella tetap benci mengakuinya.

Villain In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang