I: DAVIN(A)

47.2K 1.3K 24
                                    

Detik jarum jam mengisi keheningan di salah satu ruangan VIP Rumah Sakit Hermila. Ventilator, Bed Side Monitor, dan beberapa peralatan medis lainnya tertata di samping ranjang di ruangan itu. Beberapa selang infus dan alat bantu pernafasan juga sudah disediakan untuk berjaga-jaga jika suatu saat akan diperlukan.

Disana berbaring Arsyila Romeensa, perempuan berusia 23 tahun yang telah divonis menjadi pasien persistent vegetative karena kerusakan otak yang berat dan ia kehilangan seluruh fungsi otak besarnya sejak kecelakaan mobil yang menimpanya dua tahun yang lalu.

Wajah Arsyila terlihat sangat cantik dan cerah karena baru beberapa menit yang lalu, Aira Romeensa yang tidak lain adalah Ibu dari Arsyila memoleskan sedikit bedak di wajah putrinya agar tidak terlihat pucat. Padahal, tanpa riasan pun wajah Arsyila tetap terlihat cantik dan hanya seperti orang yang sedang terlelap dalam tidurnya.

Aira menyentuh telapak tangan putrinya. Digenggamnya dengan erat dan ditempelkannya telapak tangan kanan putrinya itu ke pipinya secara bergantian. Aira hanya ingin Arsyila merasakan, bahwa dalam sakit dan kesendiriannya; masih ada sang Ibu yang selalu siap menemaninya.

"Umi kangen Syila. Cepet sadar ya, Sayang," ujar Aira sambil menempelkan bibirnya di kening Arsyila. Kemudian tangannya merambat ke arah kepala Arsyila yang ditutupi oleh kerudung bergo berwarna peach itu. Aira mengusap kepala putrinya pelan. Dalam hatinya ia berharap bahwa sentuhannya mampu membuat Arsyila merasakan kerinduan yang dipendamnya dua tahun belakangan ini.

Aira rindu tatapan lembut Arsyila, Aira rindu senyuman manis Arsyila, Aira rindu gerak tubuh dan bagaimana cara Arsyila berbicara dan menceritakan sesuatu. Aira rindu putrinya. Ia sungguh merindukannya.

Decitan suara pintu yang terbuka membuat Aira mengalihkan pandangannya dari Arsyila. Sosok pria bertubuh tegap masuk sambil membawa sebuket mawar merah dan senyum yang merekah. Dengan setelan kemeja warna navy polos yang dipadukan dengan celana bahan hitam, pria itu jadi terlihat dewasa dan tentu saja--tampan.

Aira membawa tubuhnya berdiri untuk menyambut kehadiran pria yang sekitar sepuluh langkah lagi itu mendekati ranjang putrinya.

"Assalamualaikum," sapanya dari kejauhan.

"Waalaikum salam," balas Aira sambil tersenyum.

Davin Praditya, pria yang sudah dikenal dekat oleh Aira dua tahun belakangan itu mengangguk tanda salam karena ia menghindari sentuhan fisik, meskipun itu hanya sekedar salam hormat kepada orang tua jika orang tersebut bukan mahram-nya.

Aira yang sudah mengerti maksud Davin hanya mengangguk kecil sambil tersenyum. Ia sangat mengenal kepribadian Davin dan bagaimana Davin sangat menjaga dirinya dari perempuan. Dua detik kemudian, Davin menyerahkan sebuket mawar kearah Aira.

"Buat Syila?" tanya Aira sambil meletakkan buket bunga mawar itu di atas ranjang, di samping wajah Arsyila.

Davin menggeleng cepat. "Buat Umi," katanya kepada Aira yang sudah akrab ia panggil Umi karena ketika di panggil dengan sebutan Tante, Aira merasa canggung dan katanya itu terdengar kurang pas di telinganya.

Davin memperhatikan wajah calon istrinya sejenak. Ia mengatur napas dan mencoba untuk tetap terlihat tenang. Aira menggeser kursi yang ada di pojokan ruangan agar Davin bisa ikut duduk bersamanya. Davin hanya tersenyum kecil dan masih berdiri. Tangannya ia rekatkan pada besi pinggiran ranjang rumah sakit. Ia tersenyum masam, mengingat bagaimana dua tahun yang lalu pernikahannya tidak berlangsung karena kecelakaan parah yang dialami Arsyila dan kondisinya belum sadar juga sampai sekarang.

Meskipun dalam hatinya ia tidak mencintai Arsyila, tapi melihat Arsyila dalam kondisi seperti ini membuat hatinya teriris. Ia hanya tidak ingin wanita yang selalu ia panggil Umi itu murung dan sulit tersenyum. Itu semakin menambah beban dalam hatinya.

Tentang Davin: Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang