"Ina harus gimana, Bu?" Davina menempelkan ponselnya di telinganya. Sejak lima belas menit yang lalu, yang perempuan itu lakukan adalah berjalan bolak-balik di dalam kamarnya sambil menelpon Ibunya yang berada di Bandung. Entah sudah berapa kali ia berkata, 'Ina harus gimana Bu?' kepada ibunya.
"Duh ... Teteh tenang dulu coba, jangan bingung-bingung gitu atuh, Ibu juga jadi ikutan bingung harus ngasih saran apa," suara Laila--Ibu dari Davina terdengar di ujung telpon.
"Ina pindah aja ya, Bu? Nggak enak tinggal di sini terus. Lagian, nanti bingung kalau ketemu dianya harus gimana." Davina memijat keningnya perlahan.
"Teteh mau pindah tuh karena ngerasa ngerepotin apa karena mau ngehindarin siapa itu namanya? Davin ya?"
Mendengar nama Davin di sebut, Davina jadi mengingat kembali apa yang baru saja Davin katakan sore tadi kepadanya.
"Ibu ... Ina harus gimana sekarang?"
Terdengar helaan napas Laila. "Tetehnya yakin nggak sama dia? Kalau yakin, ya jalanin aja. Ibu sama Bapak tunggu di Bandung."
"Ina kenal sama dia aja baru semingguan, Ina nggak tau apa-apa tentang dia, dan tiba-tiba ... ah, Ina bingung, Bu."
"Kalau Teteh nggak yakin ya tinggal tolak aja atuh, da kenapa mesti di bawa repot? Lagipula Ibu lebih suka yang begitu. Langsung ngajak Teteh menikah, artinya teh dia serius sama Teteh."
Davina mencoba memahami apa yang ibunya katakan. Dia baru mengenal Davin kurang lebih seminggu yang lalu. Ya walaupun dua bulan sebelumnya mereka pernah bertemu tiga kali; di kafe, di pemakaman, dan di kosannya di Jakarta. Tapi, awal mereka sering bertemu ya hanya seminggu belakangan ini.
Satu pertanyaan memutar keras dalam benak Davina: Apakah satu minggu adalah waktu yang cukup bagi seseorang yakin untuk melaksanakan pernikahan?
"Dulu Ibu sama Bapak juga gitu kok. Bahkan kita nggak pernah ketemu sebelumnya. Bapak datang ke rumah dan lamar ibu di depan orangtua. Berhubung orangtua Ibu ridha, ya.. ibu nurut aja. Kami menikah, dan seserhana itu juga benih-benih cinta mulai merekah. Semuanya jadi berkah." Laila mulai bercerita awal perkenalannya dengan Fandy--yang kini menjadi suaminya. Hal itu ia lakukan untuk mengusir kebimbangan di hati anaknya.
"Kalau Ina sama Pak Davin ... Ibu sama Bapak ridha nggak?" tanya Davina ragu-ragu.
"Biar Davin ke sini dulu. Ngobrol sama Ibu dan Bapak. Nanti kan setelah ketemu orangnya enak."
"Hm, itu Bu ... Pak Davin memang mau ke Bandung, cuma..."
"Cuma kenapa? Sama Ina nggak di bolehin?"
"Bukan nggak boleh, Bu. Ina cuma..."
"Biarin Davin ke sini dulu. Ini kan proses ta'aruf. Maksudnya biar Ibu sama Bapak juga kenal. Masalah nanti mau lanjut ke pernikahan atau enggaknya kan terserah Ina."
Davina menghela napas panjang. "Nanti Ina bilangin deh, Bu."
"Yaudah ... jangan bingung-bingung ya, Teh. Ibu nanti kepikiran Teteh terus, kerjaan kamu lancar-lancar aja, kan?"
Davina tersenyum. "Iya, lancar kok. Ina suka ngajar di AFIBS, lingkungannya islami. Pokoknya sekolahnya luas banget, Bu."
"Ibu ikut seneng dengarnya. Teteh baik-baik ya di sana, Ibu sama Bapak kangen Teteh."
"Ina juga kangen sama Ibu, sama Bapak juga. Yaudah, nanti Ina telepon lagi ya. Assalamualaikum, Ibu."
"Waalaikum salam, Teh."
Davina menutup telponnya, kemudian ia merebahkan dirinya diatas kasur. Ia memajamkan matanya, mencoba untuk tertidur. Namun, wajah laki-laki itu, apa yang di bicarakannya, kembali terputar ulang. Memenuhi seluruh sudut-sudut kecil dalam kepalanya. Lagi-lagi, Davina mengingat Davin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Davin: Kembali [Completed]
Spiritüel[BUKU KEDUA DWILOGI TENTANG DAVIN] Karena sejatinya, setiap dari kita akan kembali memulai kisah cinta--dengan orang, tempat, dan waktu yang tidak terduga. Catatan: 1. Disarankan membaca Jarak terlebih dahulu. 2. Ditulis ketika belum paham EBI dan t...