III: KEPUTUSAN

14.4K 920 8
                                    

Tidak di butuhkan waktu yang lama untuk mereka bertiga sampai di rumah Arsyila. Jalanan lengang sehingga dalam waktu dua setengah jam mereka telah sampai di rumah Arsyila. Kedatangan keluarga Praditya disambut baik oleh satpam keluarga Arsyila. Ketika selesai memarkirkan mobilnya di halaman rumah, Davin, Khansa, dan Irsyad memasuki rumah berlantai dua dengan nuansa cat krem dan hitam itu. Belum sampai di depan pintu, seorang perempuan berusia 50 tahunan membuka pintu dan tersenyum ramah.

"Assalamualaikum," salam Irsyad kepada perempuan paruh baya itu.

"Waalaikum salam. Silahkan masuk Pak Irsyad, Bu Khansa, dan Pak--"

"Davin," potong Davin. "Davin aja. Jangan pake kata Pak."

Perempuan yang mungkin pembantu rumah tangga itu hanya tersenyum. Irsyad dan Khansa memasuki rumah, di susul dengan Davin di belakangnya. Mereka memasuki rumah dan akhirnya duduk di ruang tamu. Di sana telah duduk Arsya Romi Amzari dan Aira Hansa--Ayah dan Ibu dari Arsyila yang spontan berdiri ketika melihat kedatangan tamu yang sudah ditunggunya.

Mereka semua saling berjabat tangan dan mengucapkan salam kemudian duduk di sofa ruang tamu. Lima menit kemudian, perempuan yang tadi membukakan pintu datang dengan membawa nampan yang di atasnya ada beberapa cangkir berisi teh manis. Setelah menaruh minuman tersebut di atas meja, perempuan itu beranjak untuk kembali ke dapur.

Beberapa percakapan ringan pun mulai di lontarkan, seperti bagaimana pendidikan Davin di Kairo, bagaimana kehidupannya di sana, dan apa perasaannya karena sebentar lagi akan menjadi kepala sekolah di AFIBS. Pertanyaan-pertanyaan itu di jawab Davin sekadarnya sambil sesekali terkekeh pelan untuk menghangatkan suasana.

"Davin, ada hal serius yang akan kami bicarakan di sini," ujar Arsya memulai ke inti pembicaraan.

"Soal pernikahan kamu dengan Syila. Melihat kondisi Syila yang belum juga sadar, saya dan Ibu sudah ikhlas sepenuhnya atas keputusan dari Davin."

Davin mengernyit. "Maksud dari keputusan Davin apa ya?"

"Seperti yang sudah Davin lihat dua hari yang lalu. Syila masih belum sadar. Dan pasien vegetatif tidak bisa diprediksi kapan akan sadar dari keadaannya. Ibu ngerti perasaan Davin. Ini sudah dua tahun sejak Davin memutuskan untuk menunggu Syila sadar. Sekarang, buatlah keputusan yang membuat Davin bahagia. Ikuti kata hati Davin sendiri," jelas Aira panjang.

Davin menghembuskan napas panjang dan mencoba mencerna kalimat dari Aira. Ia juga tidak tahu apa yang membuatnya memutuskan untuk menunggu--atau lebih tepatnya mencoba untuk sendiri dulu--dan melanjutkan kembali studinya di Kairo. Sejujurnya, Davin tidak pernah merasa menunggu Arsyila, ia hanya menjalani hari-harinya seperti biasa di Kairo. Lagipula, Davin pernah-- bahkan masih menunggu seseorang hingga detik ini--lebih dari dua tahun. Jadi, menunggu bukanlah hal yang baru baginya.

"Nggak ada yang tahu kedepannya gimana, Bu. Davin hanya menyerahkan semuanya kepada Allah. Kalau Syila memang jodoh Davin, maka kami pasti akan di pertemukan dalam ikatan pernikahan. Dan kalau bukan jodoh Davin, mungkin tanpa di rencanakan pun Davin akan segera mendapatkan atau bertemu perempuan lain. Kita tinggal tunggu apa yang Allah rencanakan," jawab Davin.

Irsyad ikut angkat bicara. "Intinya, sebelum Davin menemukan pengganti Syila, Davin dan saya bersama Khansa akan tetap menunggu Syila. Dan kalau Davin sudah menemukan pengganti Syila, maka mungkin mereka memang belum berjodoh."

"Dan kami juga selalu mendoakan kesembuhan Syila," tambah Khansa.

Keempat orang tua itu mengangguk-anggukan kepalanya pelan dan memulai pembicaraan ringan lainnya. Tidak lama setelahnya, Irsyad, Khansa, dan diikuti dengan Davin pamit untuk bersegera pulang. Arsya dan Aira mengangguk sambil tersenyum, berujar kepada keluarga Praditya agar tetap menyambung tali silaturahmi meskipun hubungan Davin dan Syila bisa dikatakan sudah terputus.

Tentang Davin: Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang