Pukul dua pagi Davin membuka matanya. Rasa pusing dan mual serta sakit pada perutnya membuat laki-laki itu tidak bisa pulas tertidur. Davin menyibak selimutnya dan turun dari tempat tidur. Tujuannya adalah kamar mandi. Ia berdiri di depan wastafel sambil memperhatikan duplikat dirinya sendiri. Tiga detik setelahnya, Davin muntah. Ia menghela napas kasar ketika melihat apa yang keluar dari mulutnya.
Ini kali kelima cairan kental berwarna merah itu mendominasi air liur yang keluar dari mulut Davin.
Melihat itu, Davin merasakan emosinya memuncak. Ia marah. Dari tujuh miliyar penduduk bumi saat ini, kenapa hal seperti ini harus terjadi kepadanya?
Ketika rasa marah itu sudah mencapai puncaknya, Davin meninuju wastafel hingga buku-buku jarinya memutih. Sekitar tiga kali ia melakukan itu hingga darah cair keluar dari sela-sela tangannya. Ingin ia berteriak, protes, dan mengeluarkan amarahnya. Tapi, ia berada di rumah dan ia tidak ingin Davina khawatir apalagi sampai membuat perempuan itu menangis. Bagi sebagian laki-laki yang sungguh mencintai perempuannya, rasa sakit yang paling memilukan adalah ketika melihat orang yang disayangi dan dijadikan prioritas utama dalam hidupnya menitikan air mata. Dan hal itu berlaku juga untuk Davin. Satu tetes saja air mata keluar dari wajah Davina karena laki-laki itu, Davin akan merasa seribu kali lebih sakit.
Davin mendongakkan kepala, kembali menatap gambaran dirinya di cermin. Lingkaran hitam yang ada di sekitar matanya adalah bukti jelas kalau ada hal yang mengganggunya akhir-akhir ini. Wajahnya tidak terlihat pucat seperti orang sakit, namun kepalanya seringkali pusing hingga rasanya ingin pecah. Lama-lama pandangannya mengabur dan keadaan terasa sunyi. Lengang sekali hingga Davin bisa merasakan deru napasnya sendiri. Davin memejamkan matanya, membukanya, dan memejamkan matanya lagi. Berharap dengan melakukan itu pandangannya jernih kembali. Pemandangan keran di depannya berbayang. Davin meraba-raba keran wastafel dan berniat menghayutkan sisa darahnya agar tidak terlihat. Namun yang ia lakukan ternyata membuat gelas kaca berisi sikat gigi yang ada di samping wastafel bergoyang, menggelinding, dan jatuh ke lantai.
Sekali lagi, Davin ingin berteriak.
Suara nyaring itu berhasil membuat Davina terbangun, perempuan itu bangkit dari tidurnya dan mengetuk pintu kamar mandi.
"Vin? Kamu ... lagi ngapain?"
Hening.
"Vin, tadi aku denger barang pecah. Kamu kenapa?!"
Masih hening.
"Vin? Pokoknya hitungan ketiga aku ma--"
"Aku nggak apa-apa, Na," sela Davin. Laki-laki itu terdiam, berusaha mengubah nada bicaranya selembut mungkin. "Gelasnya sengaja aku pecahin, buat nanti kita atraksi."
Davina mengernyit dari balik pintu. "Atraksi?"
"Kamu lupa? Ini kan hari minggu. Kita mau cari sampingan dengan jadi kuda lumping, kan?" jawab Davin sambil tertawa, memcoba membuat nada getir dalam suaranya menghilang.
Davina terdiam. Biasanya perempuan itu akan tertawa terpingkal-pingkal. Tapi perempuan itu justru mengerutkan keningnya, bingung.
"Aku bersihin kacanya sekalian wudhu, abis itu kita sholat ya. Kamu wudhu di ruang tengah aja, Na. Terus langsung ke ruang sholat. Oke?"
Butuh waktu yang lama hingga akhirnya Davina berkata, "Oke."
Perempuan itu berjalan ke kasur, mengecek ponselnya dan melihat hari dan tanggal saat ini.
Ia meneguk ludah. Ia pikir ia yang memang lupa bahwa hari ini adalah hari minggu. Tapi ternyata, ini benar-benar bukan hari minggu. Ini masih hari sabtu. Apakah Davin mencoba bergurau? Davina terdiam. Mengenyahkan sikap aneh Davin belakangan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Davin: Kembali [Completed]
Spiritual[BUKU KEDUA DWILOGI TENTANG DAVIN] Karena sejatinya, setiap dari kita akan kembali memulai kisah cinta--dengan orang, tempat, dan waktu yang tidak terduga. Catatan: 1. Disarankan membaca Jarak terlebih dahulu. 2. Ditulis ketika belum paham EBI dan t...