Devan dan Dee sibuk memilih beberapa kaset yang akan dibeli mereka karena malam ini mereka akan movie marathon sekeluarga. Sebenarnya, kata marathon seperti kurang cocok karena Davin telah menentukan batas menonton film hanya dari jam delapan malam hingga pukul sebelas malam.
"Nggak mau tau harus ada film animasinya," kata Davin yang sejak tadi hanya mengamati kedua anaknya memilih kaset di salah satu toko di mall yang sedang mereka kunjungi.
Devan yang mendengar itu memutar kepalanya ke arah Davin. "Ish nggak cowok banget nontonnya film animasi," ujar laki-laki itu. "Kalau cowok nontonnya yang serem-serem, dong. Kayak bunuh-bunuhan atau film action gitu lho, Bi."
Davina yang sejak tadi diam ikut menanggapi ucapan anak dan suaminya. "Nonton film horor dong. Kayaknya seru."
"Nggak!" jawab Devan, Davin, dan Dee kompak. Davina mengernyit sebentar dan baru sadar kalau ketiga orang di hadapannya ini tidak pernah menyukai film ber-genre horor.
"Cukup kuis di kampus aja yang horor, film yang mau kita tonton jangan," celetuk Devan yang baru saja menyelipkan curhatannya.
Davina berjalan ke arah rak kaset dan berdiri di samping Devan. "Sering kuis ya, Van? Susah?" tanya Davina.
"Lebih susah dapetin perhatian doi," jawab Devan sembarang.
"Siapa? Kak Afa?" Dee ikut menimpali.
Bukannya menjawab, Devan malah menunjukkan cengirannya. Davin ikut berdiri di samping Devan.
"Inget pesen Abi, kesempatan kamu bisa masuk dunia perkualiahan di usia enam belas tahun itu bukan buat main-main dan keren-keranan doang. Apalagi cuma biar bisa sekampus dan satu jurusan sama Zaafa. Niat kamu belajar, Van. Soal perempuan mah belakangan."
Devan yang mendengar perkataan itu terdiam sejenak. Ia jadi mengingat apa saja yang terlewati selama dua tahun terakhir ini--tepatnya saat ia bisa memasuki dunia perkuliahan dua tahun lebih awal dari teman-temannya yang lain--bahkan dengan kakaknya sendiri. Dalam bidang akademik, Devan dan Dafi memang sebelas dua belas. Keduanya pintar. Devan pintar dalam hal-hal yang berbau ilmu pasti dan Dafi pintar dalam hal-hal yang berbau ilmu sosial.
Dafi dan Devan sekolah terpisah sejak lulus di bangku sekolah dasar. Dafi tetap melanjutkan sekolahnya di AFIBS hingga SMA--sedangkan Devan melanjutkan masa putih biru dan masa putih abu-abunya di sekolah internasional yang keunggulannya sudah tidak diragukan lagi. Di SMP, Devan akselerasi sehingga ia hanya menyelesaikan masa putih birunya dengan dua tahun--dan hal yang sama pun ia dapatkan ketika di SMA.
Jadi Devanza Shabqie Praditya, laki-laki yang terkesan petakilan dan hiperaktif itu memiliki otak diatas rata-rata sehingga di usianya yang saat itu baru menginjak enam belas tahun--kaki Devan telah berhasil menjajaki Universitas Indonesia.
Ia berhasil masuk lewat jalur SNMPTN dan kini laki-laki itu sudah memasuki semester empat sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran.
"Iya Abi. Lagian siapa juga yang mau main-main di UI, main mah di dufan. Ya nggak, Mi?" balas Devan sambil menatap Davina.
Davina hanya mengangguk. "Ini jadinya mau beli film apa?" tanya Davina lagi.
"Ini aja!" Dee mengacungkan sebuah kaset dengan judul Oh My Venus. Kening Davin, Devan, dan Davina berkerut bersamaan.
"Film apaan tuh?" tanya Davin yang merasa tidak familiar dengan artis-artis yang ada di cover kaset.
"Bukan film sih, ini drama korea. Kata temen Dee seru," jelas Dee.
"Nggak ada korea-koreaan. Itu mah panjang. Nggak selesai dua jam, Dee." Davin dengan tegas menolak permintaan Dee. Peremuan itu hanya mengerucutkan bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Davin: Kembali [Completed]
Espiritual[BUKU KEDUA DWILOGI TENTANG DAVIN] Karena sejatinya, setiap dari kita akan kembali memulai kisah cinta--dengan orang, tempat, dan waktu yang tidak terduga. Catatan: 1. Disarankan membaca Jarak terlebih dahulu. 2. Ditulis ketika belum paham EBI dan t...