XXIV: JANGAN KHAWATIR, DAVINA

10.1K 782 36
                                    

"Jadi ... kamu akan menikah nggak kurang dari dua bulan lagi, Vin?" Zula membuka mulutnya karena sejak tadi tidak ada obrolan apapun di dalam mobil.

Davin mengangguk. "In Sha Allah. Kan, aku ikutin saran kamu, Zu." Davin jeda sejenak. "Kamu tau dari mana? Kayaknya, aku belum kasih tau kamu deh."

"Siapa lagi kalau bukan Fia dan Riska?"

"Oh iya, ya. Fia sama Riska memang klop banget kalau udah gosipin orang," jawab Davin seadanya.

Zula terdiam lagi. Entah kenapa sejak ia mendengar Davin akan menikah, ia jadi tidak berani menatap mata laki-laki itu. Zula mengambil napas pelan, diaturnya detak jantungnya yang bekerja tidak normal itu. Ia merasakan sesak. Seperti ada yang mengikat rongga dadanya. Zula tidak sadar, bahwa tali kenangannya bersama Davin selama ini belum pernah terlepas. Tali itu hanya melonggar--keadaan yang sewaktu-waktu bisa mengikat erat rongga dadanya kembali. Dan keadaan itu mungkin adalah sekarang.

"Zu?" panggil Davin memecah keheningan yang tercipta.

"Hm." Zula menjawab hanya dengan gumaman.

Davin mendesis. "Kamu kenapa? Kok diam aja? Kamu sakit?" tanyanya khawatir.

"Kenapa kamu tanya?" jawab Zula yang ternyata adalah pertanyaan juga.

Davin mengernyit. "Karena ... ya, karena aku khawatir," jawabnya jujur. Davin sendiri bingung kenapa ia merasakan khwatir ke banyak orang. Kepada Davina, kepada Fifi, dan sekarang--kepada Zula.

"Kenapa kamu khawatir?" tanya Zula lagi.

Davin menoleh ke arah Zula sejenak. Kenapa ia khawatir? Ia sendiri tidak tahu jawabannya. Hanya saja, ia tidak bisa melihat Zula sakit atau terluka. Ya, perasaan semacam itu. Tapi bukan berarti Davin masih mencintai perempuan itu kan?

Alih-alih menjawab. Davin malah balik bertanya. "Emangnya aku nggak boleh khawatir sama kamu?" tanyanya sambil menatap tepat di manik mata Zula.

Zula terkesiap. "Hm, ya ... boleh. Cuma--"

"Yaudah," potong Daving. "Kalau gitu nggak ada masalah dong, kalau aku khawatir sama kamu," tandasnya.

Zula mengangguk lemah. Di tatapnya wajah Zaafa yang tengah tertidur dalam pelukannya. Matanya mengawang mengingat Rasya dan menyadari bahwa kini dia sudah menjadi seorang Ibu. Masalahnya memang bukan di kamu, Vin. Masalahnya di aku. Batinnya dalam hati.

"Jadi ... kamu nggak apa-apa?" tanya Davin memastikan.

"Iya. Aku nggak apa-apa," jawab Zula disertai senyuman kecil.

Setelah itu Davin mengangguk lega dan selama sisa perjalanannya untuk mengantar Zula lebih terisi dengan keheningan. Selama kurang lebih satu setengah jam di perjalanan, akhirnya Davin sampai juga di depan rumah Zula. Laki-laki itu segera keluar dari mobil dan membukakkan pintu untuk Zula. Perempuan itu keluar dari mobil sambil menggendong Zaafa yang masih terlelap.

Zula tersenyum. "Lain kali jangan bukain pintu gitu Vin."

"Ini namanya attitude, Zu," jawab Davin disertai cengiran.

"Aku tau. Tapi attitude kamu itu bikin aku kepikiran kamu terus nantinya."

Davin mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya heran.

"Enggak. Yaudah thanks ya, Vin. Aku masuk dulu. Mau mampir sebentar?"

Davin melirik jam tangannya. "Udah malam. Aku pulang ya. Salam buat Rasya," katanya sambil berjalan menuju mobilnya.

"Vin."

Davin menoleh ke arah Zula. "Iya?" Di tatapnya Zula yang mengeluarkan tatapan sendu.

"Hati-hati di jalan," katanya.

Tentang Davin: Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang