XXXI: HARI BAHAGIA

11.5K 786 62
                                    

Beberapa keluarga dan tamu undangan yang hadir sudah memadati Masjid Lembang untuk menjadi saksi atas janji suci yang akan diikrarkan seorang Davin Praditya dalam sebuah ikatan cinta yang halal. Orang yang menghadiri acara akad nikah itu tidak terlalu banyak. Kedua keluarga memang sepakat hanya mengundang beberapa orang agar suasana lebih terasa khidmat.

Dalam meja yang panjangnya tidak lebih dari satu meter itu berhadapan dua laki-laki yang terpaut usia cukup jauh. Seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang menatap ramah laki-laki berusia dua puluh lima tahun dihadapannya yang sudah memasang ekspresi gugup sejak mendudukkan dirinya di masjid ini.

Sedangkan jauh di belakangnya, perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu terus merasa cemas sambil sesekali menatap ketiga perempuan yang ada di samping kanan, kiri, dan depannya bergantian. Ia duduk di atas sebuah bantal besar yang dibuat senyaman mungkin dan terhalang sekat berupa anyaman rotan yang sudah dihias dengan beberapa bunga-bunga kecil dan selendang putih tipis. Sekat itu dibuat mengelilinya dan menjadi pembatas antara dirinya dengan sang calon mempelai prianya.

Laila menggenggam pelan jemari Davina. Hanya Laila satu-satunya orang yang bisa menggenggam Davina dengan leluasa. Davina menarik napas pelan dan tersenyum kikuk melihat Ibu angkatnya. Seseorang yang telah mengurus dan membesarkannya selama dua puluh tiga tahun ini. Seseorang yang memeluk dan menciumnya hanya sampai pada usianya sebelas tahun. Seseorang yang begitu mencintainya lebih dari apapun.

"Orang bilang semua perempuan selalu terlihat cantik di hari pernikahannya. Tapi bagi Ibu, Teteh selalu cantik dalam segala situasi dan kondisi. Teteh cantik karena selama ini Teteh menjaga diri Teteh dengan baik. Teteh cantik dalam balutan jilbab yang syar'i. Ibu bangga Teteh bisa mempertahankan kecantikan Teteh sampai hari ini tiba." Perkataan Laila sedikit membuat Davina rileks. Bahkan tautan kedua tangan Laila yang sudah cukup terbilang lama itu tidak mengganggunya. "Dan Ibu senang bisa menggenggam jemari Teteh lebih lama dari biasanya," lirihnya.

Baru saja Laila hendak melepaskan genggamannya. Davina menarik kembali tangan Ibunya. "Biarin lebih lama lagi, Bu. Entah kenapa Ina ngerasa nyaman dan ... nggak takut seperti biasanya." Laila sedikit kaget namun ia kembali mengeratkan genggamannya.

Kemudian Davina menatap sesosok perempuan di hadapannya. Dina Pramesti. Ibu kandungnya. Ibu yang melahirkannya. Dina sedari tadi hanya bisa memperhatikan Laila menggenggam jemari putrinya. Bukannya ia tak ingin, hanya saja ia mengingat phobia Davina yang baru ia ketahui dua minggu yang lalu dan ia takut Davina merasa risih jika ia mencoba menenangkannya lewat gerakan tangannya.

Davina melepaskan tangannya dari tangan Laila dan menggenggam jemari ibunya ragu-ragu sambil tersenyum. "Makasih, Ma." Davina memanggil Dina dengan sebutan Mama ketika ia mengingat Raina juga memanggil Dina dengan panggilan yang sama. "Makasih udah ngelahirin Ina dan mempercayakan Ina dirawat sama Ibu. Ina sayang sama Mama." Mendengar itu satu tetes air mata jatuh dari kelopak mata Dina. Davina tidak membencinya dan itu membuat ia sedikit lega. Justru Davina malah mengatakan bahwa ia menyayanginya.

"Mama lebih sayang sama Ina," ujarnya pelan seraya melepaskan tangan Davina karena perempuan itu sudah terlihat resah.

Setelah itu, Khansa memakaikan sebuah sarung tangan berwarna putih tipis yang mungkin biasanya terlihat pada ratu-ratu kerajaan dalam balutan gaunnya. "Semoga ini bisa membantu Ina pas nanti mencium punggung tangannya Davin. Tapi kalau memang itu belum bisa Ina lakuin, jangan dipaksa, ya? Kita udah bicarain ini sebelumnya sama Davin, kan?" Davina mengangguk mendengar perkataan Khansa

Tidak lama setelahnya, terdengar bunyi mic yang menandakan acara akad nikah segera di mulai. Beberapa doa dan pembacaan ayat suci Al-Qur'an sudan dilantunkan. Hingga akhirnya suara yang sangat akrab di telinga Davina itu terdengar. Itu suara ayahnya, Fandy Rizqullah.

Tentang Davin: Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang