Mobil Honda Jazz putih itu sudah melaju di jalanan Kota Bandung. Davin duduk di kursi kemudi, Irsyad di sampingnya, dan di belakang ada Khansa, Afsheen, dan Davina.
Sejak percakapan Davin dan Davina lima hari yang lalu di depan ruang kepala sekolah AFIBS, Davin segera memberitahu Irsyad dan Khansa kalau Davina secara tidak langsung menerima lamarannya. Langkah selanjutnya adalah meminta restu dari kedua orangtua Davina di Bandung. Maka, hari minggu ini mereka sudah merencanakan pergi ke Bandung.
Selama di perjalanan, tidak banyak percakapan yang terjadi. Sesekali Afsheen menggoda Davin dan Davina. Irsyad dan Khansa juga ikut menggoda Davin. Intinya, seringkali terdengar tawa kecil di dalam mobil.
"Seneng nggak, Vin?" Khansa bertanya kepada putranya sambil melirik Davina. Yang dilirik ikut tersenyum malu.
"Tanpa Davin tanya, Umi udah tahu jawabannya."
"Kamu tau nggak, Na, si Davin semenjak dijauhin sama kamu curhat-curhat terus sama Umi. Dia takut ditolaklah, takut kamu udah punya calon lah, banyak banget yang di takutin. Bahkan dia jadi lebih sering nelepon Umi buat cerita."
"Eh? Davin emang sering telpon Umi ya," jawab Davin tidak terima.
"Ya tapi nggak sesering seperti kemarin itu, kamu nelepon sehari bisa 10 kali."
Irsyad mengerutkan kening. "Beneran, Mi? Apa aja yang diobrolin sampai 10 kali begitu?"
"Ya Kak Ina lah, siapa lagi?" timpal Afsheen.
"Umi.... nggak sampai--"
Ucapan Davin terpotong. "Kamu bilang nggak sampai 10 kali? Cek nih panggilan telepon di HP Umi." Khansa melirik Davina. "Kamu nggak penasaran dia ngobrolin apa aja?"
Ternyata Davin juga ikut melihat ekspresi Davina lewat kaca mobilnya. Davina tersenyum tipis. "Ya apapun itu, pasti sesuatu yang penting, kan?"
"Dan sesuatu yang penting itu kamu."
Kedua perempuan itu tersenyum. Dan, diam-diam Davin juga ikut tersenyum.
Setelah menempuh perjalan selama kurang lebih lima jam, keluarga Praditya akhirnya sampai di kediaman Davina. Rumah Davina terletak di daerah Ciwidey dan daerah di sekitar rumahnya sangat asri. Udara sejuk Bandung membuat keluarga Praditya menghembuskan napas lega. Mungkin, udara semacam ini tidak pernah mereka temukan di Tangsel atau Jakarta. Kedua kota itu adalah kota yang sibuk dan udara yang bisa mereka nikmati adalah udara panas yang bercampur debu jalanan kota.
Setelah mobil terparkir di halaman rumah Davina, keluarga Praditya--ditambah Davina keluar. Rumah Davina hanyalah rumah biasa pada umumnya. Pekarangan rumahnya luas dan banyak ditumbuhi berbagai jenis tanaman, cat rumahnya berwarna merah dan abu-abu, ada saung kecil di depannya. Davina mengetuk pintu dan mengucap salam.
"Assalamualaikum," ucapnya berkali-kali. Yang dilakukan keluarga Praditya hanyalah menunggu sambil duduk di kursi yang ada di teras rumah.
Tidak lama, pintu terbuka dan seorang perempuan dengan kerudung abu-abu muncul dari balik pintu. "Waalaikum salam. Teteh ... Ibu meuni kangen pisan." Laila segera memeluk putrinya, wajah Davina berubah menegang dan kemudian Laila tersadar, ia segera melepaskan pelukannya. "Maaf, Teh, Ibu lupa, dan sekaligus kelewat kengen sama Teteh. Maafin Ibu, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Davin: Kembali [Completed]
Espiritual[BUKU KEDUA DWILOGI TENTANG DAVIN] Karena sejatinya, setiap dari kita akan kembali memulai kisah cinta--dengan orang, tempat, dan waktu yang tidak terduga. Catatan: 1. Disarankan membaca Jarak terlebih dahulu. 2. Ditulis ketika belum paham EBI dan t...