“Fi, maaf ya saya baru bisa anterin kamu ke rumah sakit sekarang,” ujar Davin sambil mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit yang jaraknya dekat dengan AFIBS, masih di daerah Tangsel. Di dalam mobil ada Fifi, Widya, dan Pak Anta—guru seni yang masih magang di AFIBS. Davin sengaja mengajaknya agar ia tidak hanya berangkat ke rumah sakit berdua dengan Fifi.
“Eh, i-iya Pak. Nggak apa-apa. Lagian sebenernya saya udah mendingan,” jawab Fifi gugup.
Widya menyenggol bahunya pelan. “Bohong, Pak. Kemarin aja seharian di UKS. Mukanya pucet banget.”
Davin mengangguk. “Kalau kamu sakit jangan di tahan, Fi. Saya nggak mau ada calon murid saya yang sakit.”
Fifi mengangguk dan merasa senang. Tapi, kata murid yang diucapkan Davin membuat hatinya sesak. Davin benar-benar menaruh perhatian kepadanya. Bahkan baru dua hari yang lalu, ia menerima sekotak kacang almond lagi yang Davin berikan dengan menitipkannya pada Widya.
Dua puluh menit kemudian, mobil Davin telah sampai di rumah sakit dan ia segera memarkirkan mobilnya. Mereka berempat segera masuk ke dalam rumah sakit dan segera menunggu nama Fifi dipanggil untuk diperiksa oleh dokter. Setelah menunggu lima belas menit, nama Fifi dipanggil untuk berkonsultasi dengan dokter.
Fifi melangkahkan kakinya memasuki ruangan dan langkahnya terhenti ketika mendengar suara Davin. “Perlu saya temenin nggak, Fi?” Fifi mencoba tenang dan menormalkan detak jantungnya.
“Eh, eng-enggak usah, Pak.”
“Oke. Saya tunggu di sini aja ya.”
Fifi mengangguk dan setelah itu ia melangkahkan kakinya memasuki ruangan dokter untuk diperiksa.
Fifi sudah di periksa dan ia positif menderita anemia. Bukan penyakit yang seserius kanker atau tumor memang. Tapi, hal itu tidak bisa disepelekan. Davin menuju apotik untuk menukar resep dokter untuk obat Fifi dan membayar biaya administrasi. Setelah selesai, ia membawa beberapa bungkus obat dan memberinya kepada Fifi.
“Diminum obatnya ya, Fi. Oh iya, kalau ada yang sakit kasih tau saya ya.”
Fifi menerima obat yang diberikan Davin. “Hm Pak, saya boleh minta kontak Bapak gak? Ya … kaya line atau WA gitu, Pak?”
Davin menatap calon muridnya muridnya itu dengan tanda tanya besar.
“Hm, nggak buat apa-apa kok, Pak.” Fifi menggigit bibir bawahnya dan mendesis pelan. “Buat kabarin Bapak aja kalau misalnya nanti ada teman-teman yang sakit.”
Davin tersenyum ramah dan mengangguk cepat. Setelah itu, ia memberikan nomornya kepada Fifi. Tidak ada salahnya, kan? Lagipula, maksud Davin hanya agar ia lebih mudah mengontrol murid-muridnya. Apalagi, dalam hitungan satu bulan dari sekarang, ia yang akan menjadi kepala sekolah AFIBS.
Tidak lama kemudian, Widya yang telah selesai menuntaskan urusannya di toilet muncul. Disusul Pak Anta—atau Anta saja karena usianya juga baru 22 tahun, hadir sambil membawa plastik yang berisi roti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Davin: Kembali [Completed]
Spiritual[BUKU KEDUA DWILOGI TENTANG DAVIN] Karena sejatinya, setiap dari kita akan kembali memulai kisah cinta--dengan orang, tempat, dan waktu yang tidak terduga. Catatan: 1. Disarankan membaca Jarak terlebih dahulu. 2. Ditulis ketika belum paham EBI dan t...