XLIII: MENGHITUNG HARI

10.7K 818 84
                                    

"Kamu... siapa?" tanya Davin.

Davina dan semua orang yang ada di ruangan itu membeku. Dr. Fredy dan perawatnya menatap Davina dengan raut wajah sedih. Davina balik menatap dokter yang sedang menangani suaminya itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Aku...," Davina membuka mulutnya dengan ragu, suaranya sangat kecil dan nyaris terdengar seperti bisikan. Kerongkongannya tercekat. Bahunya bergetar hebat. Davina mendongak menatap langit-langit kamar rumah sakit dengan hatinya yang terasa sangat sesak. Ia menghela napas, berusaha sekuat tenaga menyembunyikan isak tangisnya. Setelah terdiam cukup lama, Davina memandang Davin yang masih mengerutkan alisnya. "Aku keluar dulu." Perempuan itu keluar ruangan dengan langkah tergesa.

Dr. Fredy menatap Davin dan beberapa orang di dalam ruangan secara bergantian. "Mari ke ruangan saya. Saya akan menjelaskan efek kemoterapi dan gejala lain dari penyakit pasien sekaligus mari kami bicarakan proses pengobatan di tahap yang selanjutnya."

Semua orang yang ada di ruangan itu mengangguk.

"Baik, saya permisi dulu. Dan satu lagi, biarkan pasien beristirahat secara optimal dan untuk saat ini jangan ajukan pertanyaan apapun."

Setelah itu Dr. Fredy keluar ruangan. Dina ikut keluar untuk menyusul Davina. Sementara Zula yang berdiri di samping Davina ikut pamit dan segera keluar ruangan. Tujuannya sama dengan Dina, menenangkan Davina yang pasti sangat terkejut sekaligus sedih karena Davin tidak mengingatnya. Laila, Fandy, Irsyad dan Khansa yang ada di ruangan memandang Davin tanpa berucap apapun. Khansa maju selangkah, menyentuh halus rambut Davin yang mulai rontok dan berjatuhan. "Kamu istirahat dulu," ujarnya lemah.

Davin mengangguk dan membaringkan tubuhnya di atas kasur. Entahlah, yang ia lihat di hadapannya hanyalah seorang wanita yang ia sendiri tidak tahu siapa. Rupaya kondisi Davin semakin memburuk. Efek kemoterapi membuat badan laki-laki itu sangat sakit dan lemas sekaligus penurunan kelima fungsi panca indranya sudah mulai menurun drastis. Setelah Davin berbaring, Khansa menarik selimut untuk menutupi badan putranya hingga sedada dan berjalan menuju pintu. Irsyad mengejar langkah Khansa dan segera merangkul hangat bahu istrinya. "Mau kemana, Mi?"

"Mau ke Ina," jawab Khansa datar. "Ina pasti lagi sedih banget sekarang."

"Ina biarin sama Bu Dina. Mending Umi pulang, istirahat. Biar Abi dulu yang jaga di rumah sakit. Sekalian juga tuh ajak Ina pulang dulu. Kasian, Ina lagi hamil muda begitu. Nggak boleh banyak pikiran."

Khansa mengangguk. "Abi anter Umi pulang ya?"

"Umi ke AFIBS aja apa? Nggak ada yang handle udah hampir seminggu."

"Kan ada wakil kepala sekolah, udah Umi istirahat aja ya di rumah. Jangan ikut-ikutan sakit. Ayo pulang sekarang."

Khansa hanya mengangguk sebagai jawaban dan Irsyad merlirik sebentar ke belakang, memberi kode kepada Laila dan Fandy bahwa ia akan pulang sebentar dan sepasang suami istri tersebut mengangguk sambil tersenyum. Setelah itu, Khansa dan Irsyad segera keluar ruangan rumah sakit, bergegas pulang menuju rumahnya.

 Setelah itu, Khansa dan Irsyad segera keluar ruangan rumah sakit, bergegas pulang menuju rumahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tentang Davin: Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang