Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB. Jalanan Kota Jakarta tidak seramai biasanya, di bahu kanan dan kiri jalan banyak dipenuhi penjual makanan. Pandangan mata Davin tertuju ke depan, matanya fokus menatap lampu-lampu jalan, atau mungkin melirik langit yang sinar mataharinya sebentar lagi terbenam, atau ia tidak menatap apapun. Sesekali Davin menarik napas pendek, otaknya kembali memutar ulang kejadian satu jam lalu, saat ia melihat kembali senyum Zulaikha. Semuanya masih sama, senyum itu mampu membuat Davin tersenyum juga. Hanya bedanya, kali ini alasan Zula tersenyum bukan karena Davin. Dan itulah yang membuat senyum Davin lama-lama memudar, berganti rasa sakit yang melandanya perlahan.
Ponsel Davin berdering, Davin mengerjapkan matanya, melirik ponsel yang ia letakkan di dashboard mobil. Itu panggilan dari Khansa. Davin segera mengangkat telpon itu dan mengaktifkan mode loudspeaker.
“Assalamualaikum. Di mana kamu, Vin?” sapa Khansa di ujung telpon.
“Masih di Jakarta, Mi.” Davin menjawab singkat sambil terus mengemudikan mobilnya.
“Sampai Tangsel jam berapa?” tanya Khansa lagi.
Davin melirik jam tangannya sejenak. “Hm, sekitar … dua jam lagi, mungkin?” katanya, kemudian ia mendesah pelan. “Atau Davin nggak pulang ke Tangsel dulu. Davin nginep di rumah kita yang di Jakarta dulu ya, Mi? Davin.…”
Khansa mendesis pelan. “Kamu kenapa, Vin?” tanya Khansa mengintrogasi karena menangkap nada suara Davin yang melemah. “Nggak terjadi apa-apa, kan? Atau ada kabar buruk?”
Davin membuang napas, ia bungkam cukup lama. “Nggak apa-apa, Mi. Cuma capek aja nyetir mobilnya. Davin nginep semalam dulu di rumah kita yang dulu.” Akhirnya, hanya itulah yang ia jelaskan kepada Khansa. Davin juga tidak tahu ia kenapa, tapi ia benar-benar merasa buruk sekarang.
Khansa menggumam pelan. “Oke deh. Istrirahat dulu di sana. Kamu sibuk banget, sih. Pergi Tangsel-Jakarta-Bandung teru.” Tiga detik kemudian Khansa menggenapkan kalimatnya. “Tapi udah ada yang ngekos di sana.”
Davin berdecak pelan, “Nggak apa-apa. Davin bisa pakai kamar atas. Ada Bu Isti juga, kan?”
“Iya, ada Bu Isti dan Pak Hilman. Yaudah, kamu bermalam di sana dulu.”
Baru hendak menutup telponnya, Khansa berujar lagi. “Sesuatu yang buruk terjadi ya hari ini?” Davin hanya tersenyum masam. Meskipun bukan ibu kandungnya, Khansa selalu bisa menangkap perubahan baik dari tingkah laku, tatapan, bahkan suara Davin.
“Nggak apa-apa. Kadang sesuatu yang buruk itu adalah pembukaan untuk sesuatu yang baik. Sekali terluka atau tersakiti bukan masalah, yang jadi masalah itu kalau kamu enggan bangkit dan berani memulai lagi. Pokoknya, jadi laki-laki harus kuat. Kuat imannya, kuat jasmaninya, kuat … hatinya.”
Davin hanya mengangguk, ia menepuk dadanya pelan. Sejak dua jam terakhir, hatinya bagai diiris sembilu. Ia benar-benar merasa buruk dan tersakiti. Ia benar-benar terpuruk dan ia merasa sulit bangkit—bahkan sebelum ia mencobanya.
“Pokoknya jadi laki-laki harus kuat. Rasulullah aja pas di tinggal Khadijah nggak terpuruk terus-terusan. Dan sebagai gantinya, Allah kasih Aisyah, perempuan yang cantik dan pandai.”
Davin mengerutkan keningnya heran, ia bingung darimana ibunya tahu yang membuatnya seperti ini adalah karena masalah kehilangan seseorang yang dicintai.
“Iya, Mi. Coba kalau Davin yang duluan kenal Umi. Umi udah jadi istri Davin, deh. Ucapan Umi itu lho, bisa bikin Davin tenang.”
Khansa terkekeh, “Ah, kamu kebiasaan. Yaudah, hati-hati nyetirnya. Assalamualaikum.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Davin: Kembali [Completed]
Spiritual[BUKU KEDUA DWILOGI TENTANG DAVIN] Karena sejatinya, setiap dari kita akan kembali memulai kisah cinta--dengan orang, tempat, dan waktu yang tidak terduga. Catatan: 1. Disarankan membaca Jarak terlebih dahulu. 2. Ditulis ketika belum paham EBI dan t...