XLVII: KEMBALI

14.8K 967 259
                                    

Lampu  yang terpasang dari setiap sudut-sudut ruangan bioskop menyala. Memancarkan cahaya terang yang membuat ruangan di mana sedang diadakannya gala premiere sebuah film yang diangkat dari novel best seller itu menjadi terang. Dalam layar bioskop yang besar, sedang berjalan nama-nama pemain dan orang-orang yang bekerja di balik layar saat proses shooting maupun editing film tersebut.

Penonton yang ada di dalam ruangan bioskop masih diam. Enggan bangun dari kursinya sebelum isak tangis mereka mereda. Film berdurasi 1 jam lewat 43 menit itu mampu membuat seisi bioskop mengeluarkan air mata.

"Umi ini Afgan banget perubahan plot sama alurnya," suara Devan yang menjadi pertama kali terdengar saat pemutaran film selesai. "Ini Evan jadi serba salah. Mau nangis takut dibilang cemen, nggak nangis tapi pengen nangis," lanjutnya.

Davina yang duduk di sebelah Devan hanya tertawa. Di samping Devan ada Dafi. Laki-laki itu tidak berkomentar apa-apa. Hanya menatap Davina sebentar dan tersenyum tipis.

"Parah banget kamu, Na," terdengar suara lain. Kali ini yang mengucapkannya adalah perempuan yang duduk di tiga kursi di sebelah Davina. "Masa di film itu kamu bikin Rasya meninggal?!"

Davina hanya tertawa mendengar celotehan Zula. "Nggak apa-apa, Zu, namanya juga film. Kalau nggak gitu kan nggak greget," tutur Rasya sambil menenangkan istrinya.

"Tapi kan, liat, aku jadi nangis, Sya," balas Zula dengan suara lemah. Perempuan itu sejak tadi memang menangis sepanjang pemutaran film. "Aku jadi ngebayangin kalau kamu bener-bener pergi..."

"Tapi kan, aku nggak pergi," ujar Rasya menangkan. "Aku di sini."

"Dan Afa juga di sini!" timpal Zaafa yang duduk di sebelah ayahnya. Perempuan berusia dua puluh tahun itu tersenyum simpul. Membiarkan lesung pipinya terlihat jelas.

"Kok kamu diem aja?" tanya Davina kepada orang sejak tadi belum mengeluarkan suara.

"Aku speechless, Na," jawabnya dengan suara pelan.

Davina tertawa melihat sosok laki-laki yang duduk di sebelahnya. Ia menggenggam tangan lelaki itu menampilkan senyuman terbaiknya.

"Pokoknya, kalo nanti novel kamu mau diadaptasi jadi film lagi nggak boleh ada cast yang meninggal-meninggalnya lagi!" suara Davin naik sedikit lebih tinggi dari sebelumnya. "Itu kamu parah banget astaga. Aku kan waktu itu cuma tumor doang, Na. Itu pun udah diangkat lewat operasi. Terus pas ke Islandia kan kita berdua, Na. Kita honeymoon di sana dan kamu nggak berhenti senyum dan ketawa. Tapi di film kamu malah sedih dan nangis. Yang di novel tuh true story. Kok pas diangkat jadi film malah begini?!"

"Duh, jangan marah gitu dong," Davina berujar lembut. "Kan ada proses revisi juga, Vin. Biar lebih kerasa gregetnya kalau di cerita kamu meninggal."

"Apanya yang greget?!" Davin mendengus kesal. "Aku nyesek banget nontonnya."

"Yang lebih nyesek itu Dee," ucap satu suara lagi. Davina menengok ke arah suara itu terdengar dan perempuan berusia lima belas tahun itu sedang memberenggut kesal. "Tokoh Dee nggak dimunculin sama sekali di cerita. Cuma Bang Evan sama Bang Afi doang...."

Dafi yang duduk di sebelah adiknya itu mengusap pelan kepalanya. Berbeda dengan Devan, laki-laki itu malah tertawa kencang--bahkan beberapa penonton yang keluar dari bioskop pun menoleh ke arahnya.

"Sabar ya, Dee," ucap Devan setengah mengejek kepada adik perempuannya, Deefarzani Balqis Praditya. "Kamu nggak ganteng sih."

"Ya iyalah kan Dee cewek. Abang gimana sih?!" Dee berdecak kesal kepada kakaknya itu. "Lagian emang Abang ganteng apa?"

Tentang Davin: Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang