"Kamu sakit?" Davina bertanya cemas dengan suara bergetar, berusaha menutupi isak tangisnya. Yang ditanya hanya tersenyum tipis sambil menutup laptopnya dan menaruh laptop itu di atas nakas. Davin menumpuk bantal di belakang badannya dan membuat posisi nyaman dengan bersandar di kepala kasur.
Davina ikut bersandar, matanya tidak berkedip sedikit pun. "Kamu belum jawab. Kamu sakit?" Davina bertanya lagi.
"Enggak." Davin menjawab singkat sambil menggeleng.
Kenapa harus bohong lagi, Vin?
Davina mengangguk lemah sambil menahan air matanya yang hendak keluar. Ia menatap langit-langit kamarnya. "Afsheen apa kabar, ya?" Ia bertanya ketika mengingat Afsheen.
"Afsheen?" Davin bertanya dengan wajah bingung. Sebelah alisnya naik. Davina balik menatapnya bingung. "Afsheen siapa?"
Garis yang semula hanya berjumlah satu di dahi Davina bertambah. Ia bingung dengan pertanyaan Davin. Apakah Davin bergurau? Apakah Davin melupakan Afsheen?
"Kamu ... nggak kenal siapa Afsheen?" Davina memiringkan tubuhnya sedikit, usaha agar ia lebih mudah melihat ekspresi Davin.
Davin mengangguk dengan mimik muka serius. Sudah jelas bahwa Davin sedang tidak bercanda sama sekali. Satu kekhawatiran baru muncul di benak Davina. Lagi-lagi tangisnya hampir saja pecah ketika ia mengingat apa yang ia temukan semalam. Ia masih berusaha menormalkan nada bicaranya meskipun saat ini Davina benar-benar ingin menangis tersedu.
"Tanggal pernikahan kita itu ... tanggal berapa, ya?" Davina tiba-tiba menanyakan itu. Davin bergeming, dari raut wajahnya sangat tampak jelas bahwa ia sedang berfikir. "Kok diem?"
"Kenapa kamu tanya itu?" Davin bertanya pelan.
"Nggak apa-apa, jawab aja coba."
"Hm ... 15 Agustus 2014," Davina tercekat. Ia meneguk ludahnya ketika mendengar jawaban Davin. "Bener, kan?"
Davina tertawa sumbang dan memasang senyum tipis. Ia mengangguk lemah. "Di ... di mana?" Ia bertanya lagi. "Kita ngelaksanain pernikahan di mana?"
Kening Davin berkerut, ia memijit pelipisnya. Pertanyaan Davina terdengar seperti, 'Apa yang kamu lakuin pas dulu ada di perut Umi Mutia?' Davin sama sekali tidak mengingat apapun dan ia baru menyadarinya.
"Di ... Jakarta?" jawabnya yang terdengar seperti pertanyaan. "Eh, aku salah, ya?"
Davina menggeleng. "Ka-kamu bener, kok. Aku siapa?" Davina bertanya lirih.
"Kamu istri aku. Ina-nya Davin," jawab Davin sambil tersenyum.
Satu senyuman terbit di wajah Davina. Tadinya ia berfikir bahwa Davin akan melupakannya juga. "Nama aku siapa?"
"Ina," Davin terdiam sejenak. "Raina. Iya, kan?"
Mata Davina membulat sempurna. Sejurus kemudian, perempuan itu membuang pandangannya ke arah lain dan air matanya benar-benar tumpah. Berbanding terbalik dengan Davin yang malah tersenyum dan setelahnya terkekeh pelan. "Kamu lucu banget asli kalau lagi kaget kaya gitu," Davin terdiam sebentar. "Nggak mungkin aku lupa sama kamu, Davina. Aku bercanda. Lagian kamu aneh banget sih pake nanya-nanya segala."
Mendengar itu Davina mencubit pelan lengan Davin dan laki-laki itu langsung meringis. "Eh sakit, Na," Davin mengusap bekas cubitan Davina sambil mencebikkan bibirnya. "Lagian kamu ngapain tanya--"
"Nggak lucu kamu bercandain hal-hal kayak gitu!" Davina berteriak sambil terus menangis.
"Eh? Kok kamu nangis?" Kening Davin berkerut, tangannya terulur untuk menghapus air mata Davina tapi perempuan itu sudah lebih dulu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Davin: Kembali [Completed]
Spiritual[BUKU KEDUA DWILOGI TENTANG DAVIN] Karena sejatinya, setiap dari kita akan kembali memulai kisah cinta--dengan orang, tempat, dan waktu yang tidak terduga. Catatan: 1. Disarankan membaca Jarak terlebih dahulu. 2. Ditulis ketika belum paham EBI dan t...