"Hai, Na. Gimana kabar kamu dan anak kita? Semoga kalian sehat dan baik-baik aja ya. Oke, jadi ... ini adalah video pertama yang aku buat." Di dalam layar ponsel berukuran 5.1 inci itu duduk Davin. Laki-laki itu tengah duduk di ruang Kepala Sekolah AFIBS dengan wajah penuh kelelahan. Ia tersenyum tipis ke arah kamera dan melanjutkan ucapannya seraya menarik napas pelan. Seolah-olah laki-laki itu berharap bebannya berkurang sering dengan hembusan napasnya yang keluar. "Mungkin ketika kamu liat video ini, aku udah nggak ada di samping kamu dan anak kita lagi. Aku ... oke, begini, jadi aku baru baca hasil tes CT-Scan aku dan ... aku sakit, Na. Kanker otak. Stadium tiga." Davin menunduk sebentar, ia melonggarkan dasi yang melilit di lehernya dan mengusap pelan rambutnya. Laki-laki itu berdehem, "Sebelumnya, aku udah sering ngerasa sakit kepala dan beberapa kali mimisan. Aku juga sering mual tapi aku pikir itu cuma sakit biasa. Tapi ternyata, aku benar-benar sakit, Na. Bahkan aku masih belum percaya kalau aku beneran menderita kanker otak dan sekarang udah sampai di stadium tiga." Davin terdiam sejenak dan tersenyum tipis ke arah kamera. "Dokter bilang, keadaan aku akan terus memburuk dan bahkan dia memvonis hidup aku nggak akan lebih dari satu tahun terhitung mulai hari ini." Davin tertawa sumbang. "Lucu, ya. Bahkan seorang dokter seolah-olah seperti bisa menentukan tanggal kematian manusia. Tapi, Na, kamu tenang aja. Aku akan berusaha dan berjuang untuk bertahan selama yang aku bisa. Jadi, jangan nangis dan jangan khawatir, ya!"
Video selesai dan bersamaan dengan itu helaan napas lemah Davina keluar. Ia meletakkan ponsel milik Davin di atas nakas dan membuka album pernikahannya dengan mata berkaca. Di samping kanannya, duduk laki-laki berusia delapan belas tahun yang saat ini tengah merangkul bahunya penuh kasih sayang.
"Evan tau itu berat, nangis aja, Mi." Devanza Shabqie Praditya--putra keduanya itu kini merapatkan badannya ke arah ibunya. Ia mengeratkan tangan kirinya yang merangkul Davina dan tangan kananya ia biarkan menggenggam telapak tangan ibunya dengan lembut.
"Umi kangen Abi kamu, Van...." lirih Davina sambil menatap potret foto-foto pernikahannya bersama Davin. Di sana ada Davin dan Davina yang duduk di kursi pelaminan di tengah-tengah hutan pinus. Telunjuk mereka saling berkaitan dan keduanya memandang ke arah yang berlawanan dengan senyum malu-malu yang mengembang. Ah ... itulah senyum pertama mereka sejak mereka resmi menjadi suami istri. Dan ajaibnya, fotografer dalam acara pernikahan mereka mampu menangkap foto itu secara diam-diam.
Tangis Davina pecah. Ia bukan menyayangkan Davin yang secepat itu pergi dan membiarkannya mengurus kedua anak mereka selama delapan belas tahun belakangan ini sendiri. Davina hanya... merindukan Davin. Perasaan semacam itulah yang kini berkecamuk hebat di dalam dadanya. Menyiksa perempuan yang kini usianya sudah mencapai 41 tahun.
Devan terus menenangkan ibunya. Laki-laki itu tidak berkomentar banyak. Ia juga ikut menatap potret ayah dan ibunya yang terlihat sangat serasi dalam album foto. Tidak lama kemudian, pintu kamar Davina terbuka, berdiri laki-laki yang usianya sama dengan Devan--hanya saja laki-laki itu lahir satu menit lebih awal dan membuatnya mendapatkan predikat anak sulung. Dafianza Shabiq Praditya memasuki kamar dengan nampan yang di atasnya terdapat segelas air hangat dan beberapa bungkus obat-obatan. Ia meletakkan nampan itu di atas nakas dan segera membuka obat-obatan yang harus Davina minum karena sejak kemarin anemia Davina kambuh dan kondisi perempuan itu sekarang sedang tidak sehat.
Dafi membuka obat dari bungkusnya dan mengumpulkannya di atas telapak tangannya. Ia tersenyum tipis ke arah Davina.
"Minum obat dulu, Mi," kata Devan pelan. Davina mengangguk dan Dafi segera menyuapkan obat ke mulut Davina dan langsung menyerahkan segelas air kepada ibunya itu. "Yaudah, sekarang Umi istiharat dulu, ya," kata Devan lagi sambil menutup album foto orangtuanya dan membiarkan Davina berbaring di atas kasur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Davin: Kembali [Completed]
Espiritual[BUKU KEDUA DWILOGI TENTANG DAVIN] Karena sejatinya, setiap dari kita akan kembali memulai kisah cinta--dengan orang, tempat, dan waktu yang tidak terduga. Catatan: 1. Disarankan membaca Jarak terlebih dahulu. 2. Ditulis ketika belum paham EBI dan t...