Aku agak takut post chapter ini karena takut feel-nya nggak dapet. Tapi yang orangnya baperan... boleh disediain aja dulu tissue-nya.
Pandangan mata Davin menyapu seluruh halaman AFIBS yang luas, di sana berdiri seluruh siswa-siswi AFIBS yang sangat merindukan kepala sekolahnya. Hari ini Davin beserta Khansa, Irsyad, dan Davina bersama-sama menuju AFIBS. Ini adalah permintaan Davin. Tujuh bulan belakangan ini, Davin hanya beberapa kali datang ke AFIBS, itupun hanya sekedar memantau dan dibantu oleh Davina dan Irsyad.
Davin duduk di kursi rodanya. Di belakangnya berdiri Davina yang merangkul hangat bahu Davin. Davin menarik napas pelan sebelum mengucapkan beberapa patah kata kepada siswa-siswinya itu. Mic di hadapannya sudah menganggur kurang lebih lima menit. Seisi lapangan yang dipenuhi oleh murid dan guru menatap Davin dengan sorotan mata yang berbeda-beda. Sedih, takut, iba, rindu, dan sebagainya.
"Kamu kenapa?" tanya Davina pelan.
Davin menggeleng. Sejurus kemudian ia melepaskan kupluk yang bertengger di kepalanya dan membuat kepala botaknya terlihat jelas di hadapan murid dan guru AFIBS. Davin tersenyum lemah dan mengucapkan salam yang dijawab serempak oleh seantreo sekolah.
"Istri saya berkata bahwa yang lebih dia takutkan dari sekedar saya yang pergi adalah ketika dia tidak bisa bertemu saya lagi. Abi saya berkata bahwa yang lebih dia takutkan dari sekedar saya yang pergi adalah ketika melihat istri dan calon anak saya tumbuh dan hidup sendiri. Umi saya berkata bahwa yang lebih dia takutkan dari sekedar saya yang pergi adalah ketika dia tidak lagi menemukan sosok seperti saya dalam diri anak-anak saya nanti. Tapi bagi saya sendiri, yang lebih saya takutkan dari sekedar saya yang pergi adalah ... ketika saya dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah nanti. Saya Davin Praditya, pemimpin keluarga sekaligus pemimpin AFIBS dengan murid yang berjumlah lebih dari seribu, benar-benar takut kalau selama ini saya belum bisa menjadi pemimpin yang baik untuk kalian semua."
Keadaan lapangan lengang, mata beberapa siswa-siswi mulai berkaca--bahkan ada beberapa orang yang air matanya sudah tumpah. Begitu pula dengan Irsyad, Khansa, dan Davina. Ketiga orang yang berdiri di belakang Davin itu sedang berusaha agar tangisnya tidak tumpah dan keluar begitu saja.
"Tolong untuk yang selama ini merasa diperlakukan tidak adil oleh saya, silahkan bilang dan maju ke depan," ujar Davin lemah.
Seisi lapangan terasa sunyi. Davin masih menunggu respon orang-orang. Hingga akhirnya satu acungan tangan yang berasal dari guru AFIBS membuat semua pasang mata dalam lapangan menoleh ke arahnya. Orang yang mengangkat tangan itu adalah Pak Ridwan--wakil kepala sekolah AFIBS. Davin menengok ke belakang dan meminta Davina untuk mendorong kursi rodanya ke hadapan Pak Ridwan.
Kursi roda itu berjalan dan berhenti di hadapan Pak Ridwan. "Apa ketidakadilan yang saya lakukan kepada Pak Ridwan?" tanya Davin sambil menatap lurus Pak Ridwan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Davin: Kembali [Completed]
Espiritual[BUKU KEDUA DWILOGI TENTANG DAVIN] Karena sejatinya, setiap dari kita akan kembali memulai kisah cinta--dengan orang, tempat, dan waktu yang tidak terduga. Catatan: 1. Disarankan membaca Jarak terlebih dahulu. 2. Ditulis ketika belum paham EBI dan t...