XLII: SEMOGA INI HANYA MIMPI

9.9K 757 85
                                    

"Pasien akan mulai kehilangan fungsi kelima panca indranya. Pandangan matanya akan mulai mengabur, telinganya sudah tidak akan bisa menangkap suara dengan jelas, akan terjadi penurunan fungsi daya ingat karena sel kanker sudah hampir memenuhi otak pasien dan perkembangannya sangat cepat. Kemoterapi, radioterapi, ataupun proses pengobatan lainnya bukan lagi bertujuan untuk proses penyembuhan, tapi ... itu hanyalah bagian dari usaha agar pasien bisa bertahan lebih lama." Dr. Fredy terdiam sejenak sambil melepaskan kacamata yang melekat pada hidungnya. "Tapi bukan berarti pasien tidak bisa sembuh. Saya hanya dokter. Segala keajaiban dan kesembuhan yang menentukan adalah Allah SWT. Mari kita sama-sama melakukan usaha yang terbaik untuk pasien."

Davina terdiam sesaat. Lapisan bening yang melapisi bola matanya terasa semakin banyak dan ketika perempuan itu memejamkan matanya, air matanya sudah tidak bisa terbendung lagi. Khansa yang ada di sebelahnya mengusap bahu Davina tanpa mengucapkan kata apapun.

"Jadi...," Khansa menatap Dr. Fredy--dokter yang selama ini menjadi dokter Davin dengan mata yang berkaca. "Kapan kemoterapi akan dimulai?"

"Lusa." Dr. Fredy menatap beberapa lembar kertas di hadapannya. Serangkaian hasil tes yang sudah Davin jalani dua bulan belakangan ini tanpa diketahui siapapun. "Saya pikir pihak keluarga sudah mengetahui penyakit pasien jauh sebelum hari ini. Saya juga kaget ketika membaca hasil pemeriksaan pasien yang menyatakan kalau pasien telah mengalami kanker otak stadium akhir."

Tangis Davina lagi-lagi meledak. Ia baru mengetahui penyakit Davin baru-baru ini dan fakta yang menyatakan bahwa sel kanker yang menggerogoti otak Davin telah ada di stadium akhir begitu menohok hatinya. Davin masih ada bersamanya, namun perasaan takut akan kehilangan itu sudah menggebu-gebu dan berebut memasuki hati Davina.

Tatapan Dr. Fredy jatuh kepada Davina. Laki-laki berusia 52 tahun itu ikut teriris melihat Davina yang sejak tadi tidak berhenti menangis. "Gejala awal kanker otak memang sering dianggap biasa. Mungkin jauh sebelum ini pasien sering merasakan sakit kepala yang hebat dan mual yang datang terus menerus, tapi hal itu disepelekan dan dianggap penyakit biasa sehingga ketika pertama kali pasien memeriksakan diri ke rumah sakit saya sangat kaget melihat keadaan penyakit kankernya yang sudah mencapai stadium tiga. Dan sekarang, sel kanker itu terus berkembang dan sudah mencapai stadium akhir."

Suasana di ruangan Dr. Fredy lengang. Davina sedari tadi hanya menyimak penjelasan dari dokter Fredy. Setelah diam cukup lama, Davina akhirnya mengeluarkan suaranya. "Berapa lama lagi?" Ia bertanya lirih sambil menghapus air mata dengan ibu jarinya.

Kening Dr. Fredy berkerut. Dokter itu menghela napas pendek. Meskipun kata yang keluar dari mulut Davina hanya berjumlah tiga, ia sudah tahu maksud dari pertanyaan tersebut. "Saya bukan Tuhan yang menentukan berapa lama seseorang bisa hidup. Saya hanya peran--"

"Secara medis," Davina memotong ucapan Dr. Fredy dengan suara bergetar. Ia menggigit bibir bawahnya dan dadanya naik turun karena berusaha sekuat mungkin untuk meredam tangis. "Saya cuma mau tau berdasarkan serangkaian tes, berapa lama lagi Davin bisa bertahan?"

Dr. Fredy bungkam. Dokter itu memijat pelipisnya. Membicarakan masalah vonis dan kemungkinan pasien akan hidup kepada keluarga pasien tersebut adalah hal yang paling sulit dikatakan oleh seorang dokter. Davina masih menatap Dr. Fredy dengan tatapan 'meminta diberi penjelasan'-nya. Khansa menggenggam jemari menantunya dan berkali-kali berusaha membuat Davina tenang.

"Berapa lama lagi?" Davina mengulang pertanyaannya. Dr. Fredy menatap manik mata perempuan itu dan menghela napas kasar.

"Delapan bulan lagi," tiga kata yang keluar dari mulut Dr. Fredy bagaikan sembilu yang telak melubangi hati Davina dan Khansa. Bahu Davina langsung melemas dan dengan sigap Khansa menangkapnya. Davina menunduk sambil menutup wajahnya yang sudah dipenuhi air mata. Khansa segera memeluk menantunya itu dan mengusap punggung Davina dengan lembut. "Itu prediksi waktu yang cukup lama. Maaf saya harus bicara realistis, tapi kalau keadaan pasien semakin memburuk, mungkin tidak sampai delapan bulan."

Tentang Davin: Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang