XII: 12 BAHASA AKHWAT

9.9K 775 24
                                    

Jadwal mengajar Davina di hari pertamanya ini adalah kelas 7A, 8B, dan 12 Bahasa. Semuanya kelas akhwat. Setelah Davina mengisi absennya, ia segera berjalan menuju kelas 12 Bahasa karena itu adalah jadwal pertamanya. Ketika memastikan bahwa ia ada di kelas yang benar, Davina segera mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Setelah itu ia memasuki kelas.

"Assalamualaikum..." katanya sambil tersenyum kikuk, ia belum terbiasa.

"Waalaikum salam," jawab beberapa murid yang tengah melakukan aktivitasnya. Kemudian mereka menatap Davina.

Suasana kelas hening.

Davina mengatur napasnya. "Perkenalkan nama saya Davina Ashba Habibah. Mulai hari ini saya akan menggantikan Bu Nafsah dalam pelajaran Bahasa Indonesia.

"Eh? Nama Ibu ... Davina?" Abian menatap guru di hadapannya itu dengan tatapan bingung.
Belum sempat di jawab, sudah terdengar lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya.

"Kok nama Ibu mirip kayak Pak Davin ya?"

"Ibu ada hubungan keluarga sama Pak Davin?"

"Adiknya ya, Bu? Apa ... istrinya gitu?"

"EH NGACO PAK DAVIN ITU BELUM MENIKAH!"

Davina hanya mematung melihat siswi di hadapannya yang melontarkan pertanyaan-pertanyaan perihal namanya yang mirip dengan Davin.

Perempuan itu memasang senyum. "Saya nggak ada hubungan apa-apa sama Pak Davin, kebetulan aja namanya hampir sama."

Terdengar helaan napas lega dari seisi kelas.

Davina kembali melanjutkan ucapannya. "Jadi ... bisa kita mulai pelajarannya?"

Beberapa sisiwi menunjukkan bibir cemberutnya. Mereka malas. Apalagi ini pelajaran Bahasa Indonesia. Bahasa sehari-hari yang mereka pikir sangat membosankan.

Davina yang menangkap mimik muka dari sisiwinya itu mengangguk paham. Ia menimbang-nimbang apa yang harus di lakukannya untuk mencairkan suasana.

Berkenalan? Basi.

Menceritakan studi lanjutan? Mereka pasti bosan.

Mengungkit-ungkit soal UAN yang sebentar lagi di hadapi? Pasti semuanya akan stress dan tegang.

Akhirnya, satu ide itu muncul di benak Davina. "Bahasa Indonesia itu lebih banyak praktik daripada teori. Jadi ... kita praktik aja sekarang."

Beberapa siswi memicingkan matanya, bingung, kaget, dan penasaran.

"Sekarang Ibu mau kalian pikirkan satu kata. Sesuatu itu bebas, bisa benda, hewan, tumbuhan, nama orang, atau apapun."

Davina mulai berjalan mengelilingi kelas. Seisi kelas senyap, beberapa di antara mereka mengangguk. "Udah?" Davina bertanya sambil memusatkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas.

"Udah, Bu." Seisi kelas menjawab serempak.
Davina tersenyum manis dan mengambil absen yang terdapat di atas meja guru. Ia melihat ke arah deretan nama-nama siswi yang ada di atas meja.

"Lizzy Adriana." Lizzy mengangkat tangannya, Davina tersenyum ramah. "Maju kedepan, Lizzy."

"Eh? Tapi ... ngak di suruh macam-macam kan, Bu?" Lizzy bangkit dari kursinya, wajahnya dipenuhi tanda tanya.

"Enggak, Lizzy. Maju ke depan dulu," jawab Davina ramah. Kemudian Lizzy maju ke depan kelas dan berdiri menghadap teman-temannya.

"Sekarang, buat puisi dari kata yang kamu pikirkan tadi."

Lizzy tersentak. "Sekarang, Bu? Lizzy belum ada persiapan apa-apa, Bu."

"Iya sekarang. Kamu keluarkan aja apa kata-kata yang terlintas di benak kamu. Tantangannya adalah, kamu nggak boleh menyebutkan secara gamblang kata yang kamu pikirkan di dalam puisi yang akan kamu bacakan. Nanti setelah puisinya selesai, teman sekelas kamu akan menebak, kata apa yang kamu pikirkan dan inti dari puisi tersebut, dan yang tebakannya benar, akan dapat nilai plus dari Ibu."

Tentang Davin: Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang