XXIX: HARI RAYA

10.2K 676 46
                                    

Suara gema takbir sudah mengalun di Kota Bandung--dan kota-kota yang lainnya--sejak semalam. Bunyi bedug yang bercampur suara anak-anak yang dengan semangat mengucapkan kalimat Allahu Akbar dengan lantang dan dengan alunan nada yang familiar bergema ke seluruh sudut-sudut kota.

Di Ciwidey, di salah satu rumah bergaya sederhana dengan lahan pekarangan yang luas, ada suara tawa dan perasaan haru bahagia yang terpancar dari sepasang suami istri dan satu putrinya itu. Ramadhan telah berlalu dan hari kemenangan telah tiba. Ketiga orang itu keluar dari rumahnya dengan sajadah yang tersampir di lengannya masing-masing. Fandy dan Laila, sepasang suami istri yang kini tengah melenggang keluar rumah dan di belakangnya ada Davina yang sedang mengunci pintu.

"Ayo, Teh," ajak Laila kepada putrinya. Davina tersenyum manis dan mengikuti langkah kedua orang tuanya. Mereka bertiga berjalan menuju masjid untuk melaksanakan sholat idul fitri.

Fandy tersenyum menatap istri dan anaknya. "Berarti ini lebaran terakhir Ina tinggal sama kita ya, Bu?" Ia bertanya kepada Laila, namun Davina yang berjalan di samping Laila sudah jelas mendengar pertanyaan itu dan ikut tersenyum kecil.

Mata Laila menyapu jalanan dan pohon-pohon yang ada di sekitarnya. "Tahun depan, kalau Allah masih ngizinin Teteh merasakan Ramadhan, Teteh ramadhannya udah bareng suami, sholat Idul Fitrinya juga udah bareng suami, mungkin Teteh juga nggak pulang ke sini dan akan jarang ketemu Ibu sama Bapak." Laila menghela napas seraya menatap Davina. "Nggak kerasa ya, Teh, dua puluh tiga tahun berlalu dan ini waktunya Ibu dan Bapak melepaskan Teteh ke orang lain." Lapisan bening yang sedari tadi membungkus kedua bola mata Laila luruh juga. Satu tetesnya jatuh ke pipi dan Laila langsung mengusapnya dengan cepat.

Davina menatap Laila. Ia ikut merasa sedih melihat Laila menangis. "Jangan nangis dong, Bu. Ina juga jadi sedih, nih. Apa Ina nggak jadi aja nikahnya?" tanyanya dengan raut wajah polos.

Laila terkekeh dan memasang senyum tipis. "Teteh kalau ngomong, ih. Enggak, Teh. Ibu cuma takut nantinya Teteh lupa sama Ibu dan Bapak." Laila membuang pandangannya ke arah lain kemudian menatap Davina lagi. "Apapun yang terjadi, tetep jadi anak Ibu dan Bapak ya, Teh," ujarnya sambil menatap manik mata Davina.

Davina mengangguk. "Iya. Ina tetep jadi anaknya Ibu sama Bapak," ujarnya disertai senyuman kecil.

"Aduh-aduh, udahan ah ngomong kaya gininya. Bapak jadi baper," ucap Fandy sambil terkekeh pelan. Menyembunyikan kekhawatiran dan rasa sedihnya karena putrinya itu akan segera menikah dan meninggalkannya. Ah, seorang Ayah memang selalu pandai menyembunyikan perasaannya dan memasang wajah seolah semuanya baik-baik saja.

"Bapak tau istilah baper darimana?" Davina bertanya penasaran.

Fandy terkekeh seraya menjawab, "Dari Davin. Pas ngobrol-ngobrol waktu itu dia bilang dia baper sama Ina semenjak dibacain puisi pas ngelamar jadi guru di AFIBS."

Sontak pipi Davina memanas dan ia menundukkan wajahnya karena merasa malu. Padahal baru saja kemarin ia merasa kesal dengan Davin, namun mendengar cerita ayahnya barusan, perempuan itu langsung tersenyum lagi. "Udah ah Ina jalan duluan, ya." Davina mempercepat langkahnya. Menyisakan Fandy dan Laila yang saling tertawa.

"Anak kita udah mau nikah, Pak," ujar Laila lirih.

Fandy mengangguk. "Iya, jangan sedih ya kalau ditinggal Ina," ujarnya parau.

"Sedih atuh, Pak. Bapak nggak sedih emangnya?" tanya Laila sambil memandang manik mata suaminya.

Fandy menatap Davina dan tersenyum. "Kalau Ina bahagia, Bapak nggak punya alasan buat sedih, Bu," ucapnya. Laila mengangguk menyetujui. Lagi-lagi, seorang Ayah memang pandai menyimpan kesedihannya--demi melihat sang anak tersenyum bahagia.

Tentang Davin: Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang