Davina bangun dari tidurnya dengan napas yang tersenggal. Peluh keringat membasahi anak rambut Davina dan bercucur hebat di sekitaran lehernya. Davina menatap sekelilingnya. Pemandangannya menyapu seisi kamar dan tatapannya terhenti pada jam dinding. Pukul tiga pagi. Tidak lama pintu terbuka dan masuklah sosok Laila.
"Udah bangun kamu, Na? Tadi Ibu tinggal sebentar ke kamar sholat dulu, mau qiyamul lail?" tanya Laila seraya duduk di pinggiran kasur.
Davina mengatur posisinya menjadi duduk dan perempuan itu mengusap wajahnya beberapa kali. "Davin...," lirih Davina.
"Oh, Davin," Laila tersenyum tipis. "Dia kan tidur di kamar depan."
Jadi, ini semuanya cuma mimpi?
"Bentar," Davina mengernyit. "Bukannya Davin...," ia menggantungkan kalimatnya.
Laila menatap Davina heran. "Kenapa?"
"Astaghfirullah, berarti tadi Ina cuma mimpi? Berarti semua ini cuma mimpi?"
"Mimpi? Maksud kamu?"
"Itu, Ina mimpi Davin sakit kanker otak stadium empat terus keadaannya itu parah banget, Mi. Davin nggak kenal Ina lagi, kelima fungsi panca indranya menurun drastis, terus di detik-detik terakhir hidupnya Davin inget sama Ina. Dia cium kening Ina, dia bilang makasih buat semua kebahagiaan yang udah Ina kasih, tapi abis itu, dia nutup matanya dan ... dia meninggal." Davina menarik napas lega dan melihat perutnya yang sudah membesar sampai puncaknya. Wajar saja, usia kehamilan perempuan itu sudah menginjak sembilan bulan. "Tapi, taunya ini semua cuma mimpi. Ina lega banget."
Laila terdiam. Perempuan itu menarik napas berat. "Na," ia berujar lembut sambil mengusap punggung tangan Davina. "Ini bukan mimpi," cicitnya lemah.
Air muka Davina langsung berubah drastis. Tatapan matanya langsung berubah sendu. "Nggak semuanya mimpi. Maksud Ibu, soal Davin yang meninggal itu emang cuma mimpi. Tapi soal penyakit kanker otak Davin yang udah sampai stadium akhir... itu keyataan, Na."
Davina membungkam dan membiarkan tubuhnya bersandar di kepala kasur. "Lusa jadwal radioterapi Davin sekaligus cek kandungan kamu. Oh iya, ada Bu Dina sama Raina juga mau ke sini hari ini."
Davina mengangguk dan segera bangkit dari kasur. Laila membantu putrinya itu dengan merangkul bahunya. "Mau ke mana?" tanyanya.
"Sholat, Bu," lirih Davina sambil berjalan menuju kamar mandi.
"Yaudah. Ibu ke Davin dulu, ya. Mau ngecek kondisinya. Kamu mau ikut?"
"Nanti," Davina menengok sejenak ke belakang. "Nanti Ina ke sana abis selesai sholat."
Kemudian Davina segera berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, sementara Laila bergegas kembali menuju kamar yang Davin tempati.
Davina duduk di sisi kasur yang sedang ditiduri oleh Davin. Tubuh perempuan itu masih terbalut sempurna oleh mukena karena ia baru saja selesai melaksanakan sholat qiyamul lail. Davina menyentuh pelan kepala Davin yang sudah sepenuhnya botak. Setiap jamarinya bergetar hebat. Davina membuang pandangannya ke arah lain. Ia bukan merasa jijik atau bahkan tidak suka melihat kondisi Davin yang seperti ini. Yang membuat Davina tidak mampu menatap Davin adalah ... karena setiap kali ia melihat warna kulit Davin yang semakin memucat dan raut wajahnya yang menyiratkan kesakitan--setiap itu juga Davina merasa bahwa Davin akan benar-benar segera pergi meninggalkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Davin: Kembali [Completed]
Espiritual[BUKU KEDUA DWILOGI TENTANG DAVIN] Karena sejatinya, setiap dari kita akan kembali memulai kisah cinta--dengan orang, tempat, dan waktu yang tidak terduga. Catatan: 1. Disarankan membaca Jarak terlebih dahulu. 2. Ditulis ketika belum paham EBI dan t...