XXXV: DAVIN'S PHOBIA

10.8K 825 48
                                    

"Tadi ke sini naik apa, Ma?" tanya Davina kepada Dina sambil meletakkan tiga cangkir teh manis di atas meja. Dina memang telah sampai di rumahnya sejak lima menit yang lalu bersama Raina.

"Naik taksi, Na," jawabnya ramah sambil tersenyum.

Davina mengangguk. "Davin mana, Na? Kok nggak keliatan?" tanya Raina penasaran.

"Oh, sebentar lagi kayaknya sampai. Tadi Ina emang pulang duluan. Davin masih ada urusan di sekolah soalnya kan Ini masuk tahun ajaran baru, emang lagi rame-ramenya, Kak."

Raina menganggukkan kepalanya seraya meminum teh buatan adiknya. "Ini yang pilihin rumahnya siapa, Na? Enak banget, nyaman. Walaupun nggak tingkat tapi pekarangannya luas dan nggak banyak sekat. Jendelanya juga besar-besar," celoteh Raina sambil mengamati seisi rumah yang kini ditempati adiknya bersama Davin.

Davina hanya tersipu malu. "Hm ... yang urus semuanya Davin, Kak. Ina aja baru tau kalau Davin punya rumah dan ternyata di dalamnya udah lengkap sama perabotannya."

Mata Dina berbinar. "Davin yang urusin semuanya? Wah, berarti dia udah nyiapin ini lama banget ya, Na?"

Davina mengangguk. "Iya, Ma. Pokoknya pas pulang dari resepsi itu Davin langsung ke sini dan dia udah bilang kalau rumahnya siap pakai. Terus barang-barang Ina juga udah dipindahin ke sini semua."

Raina mencebikkan bibirnya sambil menahan tawa. "Dari dulu itu orang emang nggak pernah berubah, ya. Selalu penuh kejutan," gumamnya pelan yang ternyata sampai ke telinga Davina.

"Emang dulu Davin orangnya gimana, Kak?" Davina bertanya penasaran.

"Orangnya..." Raina terdiam sejenak sampai akhirnya terdengar ketukan pintu dan muncul Davin yang datang sambil menunjukkan cengirannya. "Orangnya udah datang. Pas banget bisa ditanyain langsung sama orangnya, Na."

Davina segera bangkit dan menyambut kedatangan suaminya. Seperti biasa ia langsung mencium tangan Davin dan laki-laki itu langsung merangkulnya erat. Mereka berdua langsung berjalan ke arah Dina dan Raina.

Davin segera mencium punggung tangan mertuanya yang tengah tersenyum dan tatapannya beralih kepada Raina yang memandanganya dengan tatapan tajam. Davin tersenyum kikuk dan menjabat tangan Raina seperlunya. Raina tersenyum lembut. "Gimana pekerjaannya di sekolah, Adik Ipar?" tanyanya sambil mengangkat sebelah alisnya.

"Ba-baik, Kak Raina," jawabnya gugup sambil duduk di samping Davina.

Mendengar Davin memanggilnya dengan sebutan Kakak sontak membuat Raina tersenyum. "Astaga, Vin. Kamu bilang apa barusan? Kakak? Nggak salah tuh?" katanya sambil tertawa terpingkal-pingkal.

"Ya emang Davin harus manggil Kakak apa?"

"Apa, ya? Dulu di SMA ada cowok namanya Davin dan tiap malem SMS aku dengan panggilan Babe. Terus kalau ketemu juga bilangnya Love."

"Gue—eh—aku nggak pernah SMS bilang babe tiap malem. Cuma sesekali aja, Rain."

"Emangnya siapa yang bilang kalau yang aku maksud itu kamu?"

"Nggak ada," Davin mendengus. "Udahlah, Rain. Itukan udah lama. Kamu masih dendam sama aku?"

"Aku nggak dendam! Cuma kamu itu ya, Vin—" Raina mendengus seolah kehilangan kata-kata. "Kamu itu kenangan buruk aku pas di SMA! Kamu bikin aku putus sama Alfa!"

"Aku nggak pernah nyuruh kamu putus sama Alfa!"

"Tapi kamu pernah bilang kalau kamu nggak bisa jadi pacar aku karena aku udah jadian sama Alfa dan pas aku udah putus sama dia kamu malah jadian sama Zula!"

Tentang Davin: Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang