10.Outspoken

53 9 2
                                    

[Eleanor]

Kedua mata Nathan menatap lurus ke arahku, namun aku tetap enggan untuk menanyakan apa yang hendak ia katakan. "Ku mohon, mengertilah", bisiknya sembari mempererat genggamannya di tanganku. Aku dapat melihat matanya yang terlihat berkaca-kaca. Apa yang akan ia katakan? Pikiranku semkain kacau.

"Sudah 3 minggu ini, ibuku meminta agar aku segera mengatakannya padamu. Ia mendapat tugas untuk kembali ke London. Ia mengatakannya tepat 4 hari sebelum ulang tahunmu.", suaranya sangat parau. Dan sialnya, tubuhku seketika membeku saat mendengar apa yang ia ucapkan. Ketakutanku seketika melingkupi tubuhku.

"Aku tidak punya pilihan lain saat ibuku mengatakan bahwa aku lah yang harus pergi bersamanya kembali ke London karena Camila baru saja memulai tahun pertamanya di kampus. Aku sangat marah, El. Aku memohon pada ibuku untuk mengajak Camila atau mungkin ayah dan membiarkanku berada disini bersamamu"

Ucapannya benar-benar membuat tubuhku bergetar, ucapannya benar-benar mengguncang tubuhku dengan hebat. Seketika air mata kesedihan pun menetes dari kedua mataku. Inilah yang aku takutkan, kehilangannya, kehilangan orang yang aku cintai.

"Aku selalu meminta agar ibu tidak mengajakku, namun itulah keputusan yang sudah ia buat, aku tidak dapat merubahnya dan lagi aku tidak akan membiarkan ibuku hidup seorang diri di London. Aku kacau, El. Aku sangat kacau. Aku selalu berpikir bagaimana cara aku menyampaikan ini padamu", ujarnya sendu.

"Aku selalu takut akan hal ini, inilah yang ku takutkan, inilah yang selalu menghantuiku setiap saat aku berada di dekatmu. Tidak, tujuanku menjauhimu 2 minggu ini bukan agar aku tidak mencintaimu lagi. Aku tidak pernah menyesal karena mencintaimu, El, aku pun tidak akan pernah ingin untuk berhenti mencintaimu"

Aku masih memilih untuk tetap diam, seperti yang ia minta. Hatiku terasa hancur, pikiranku kacau, aku tidak dapat menahan air mataku. Lagi dan lagi aku menangisi sesuatu yang kali ini adalah sesuatu yang selau ku takuti, sesuatu yang selalu ingin ku hindari. Aku tidak akan pernah sipa untuk ini, namun kini semua sudah terjadi, mau tidak mau aku harus siap untuk kehilangan sosoknya.

"Aku menjauhimu karena aku ingin kau membenciku. Aku ingin kau terbiasa berada jauh dariku. Aku ingin kau benar-benar tidak membutuhkanku dan tidak ingin aku berada di sampingmu, namun aku gagal, El. Seharusnya aku cukup tau bahwa kau tidak akan melakukan itu, aku menyia-nyiakan 2 minggu yang kita punya hanya untuk mementingkan pendapat diriku sendiri"

"Aku tidak memiliki pilihan lain selain kembali ke London. Percayalah, El, aku sangat merasa berat untuk melakukan itu. Itu adalah hal yang paling membuatku takut, yang paling membuatku hancur adalah meninggalkanmu sendiri disini. Aku tidak bisa, El. Aku terlalu mencintaimu, aku bahkan sangat mencintaimu. Aku tidak ingin meninggalkanmu, aku tidak ingin kehilanganmu. Astaga, aku bahkan tidak dapat mengatakan betapa beratnya bagiku untuk meninggalkanmu disini"

Kedua matanya menutup, ia menundukkan kepalanya dan mempererat genggamannya di tanganku. Pandanganku kosong, nafasku tercekat, aku bahkan tidak tau harus berkata apa. Ia akan pergi. Ia akan kembali ke London. Kali ini bukan candaan seperti yang ibunya lakukan beberapa tahun lalu, ini adalah kenyataannya, ia harus kembali.

Aku merasakan air matanya menetes di atas punggung tanganku, namun aku tetap diam. Rasanya sekujur tubuhku tak dapat bergerak. Mataku bahkan enggan untuk berkedip. Bibirku terasa kering walau hanya untuk berbicara. Tubuhku terasa sangat kaku. Nafasku terasa berat, bahkan aku merasa bahwa tidak ada lagi oksigen di sekitaran tubuhku.

"Aku tidak bisa. Aku tidak akan bisa", bisiknya, entah padaku atau pada dirinya. Aku masih tidak tau harus berkata apa. Sungguh, inilah yang selalu ku takutkan. Kehilangan dirinya, kehilangan sosoknya yang selalu ku banggakan, yang selalu ku andalkan, yang selalu ku cintai.

Like We DidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang