Always - Gavin James
~~~
Satu minggu setelah kejadian malam itu. Quinn sudah kembali ke apartemennya, kembali ke dekapan Nathan. Nathan mengantar Quinn bekerja, setiap hari. Sedikit bersyukur karena aku tidak perlu berbicara lebih lama dengan Quinn, bukan karena aku membencinya atau tidak menyukainya, hanya saja berbicara dengannya mengingatkanku bahwa aku tengah berbicara dengan calon istri Nathan.
Setiap aku bertemu dengan Nathan, aku hanya menganggukkan kepalanya, sementara ia memberiku senyuman sendu yang enggan ku balas. Quinn mengajakku berkunjung ke apartemennya beberapa kali untuk makan malam bersama, namun tentu saja aku menyampaikan padanya bahwa aku sudah makan dan berbagai alasan lainnya.
Pagi ini aku berencana untuk ke Target, membeli beberapa bahan makanan dan mungkin bir? Entahlah, kini aku merasa sangat membutuhkannya. Setidaknya harus ada 6 kaleng bir di kulkas ku.
Perjalanan menuju Target tidak terlalu lama, pun tidak terlalu cepat. Jalanan di pagi hari saat akhir pekan tidak terlalu ramai. Sungguh, aku sangat menikmati New York di pagi hari.
Setibanya di Target, hal pertama yang ku lakukan adalah memesan Cappucino di Starbucks. Berjalan menyusuri lorong sayur dan buah membuatku semakin lapar, aku sangat suka berbelanja. Ku rasa semua perempuan seperti itu benar?
Mengambil berbagai macam sayur, seperti brokoli, jagung, wortel dan lainnya. Aku juga mengambil buah-buahan, plum dan pisang salah satunya. Jangan salahkan aku, aku sangat menyukai plum di pagi dan malam hari, sementara pisang adalah sarapanku sembari mengendarai mobil di pagi hari menuju ke kantor.
Kini aku sudah memiliki sayur, buah, 2 botol wine dan 20 botol bir di dalam troli belanja ku. Katakan aku mulai kehilangan kontrol dalam mengonsumsi bir, persetan, aku membutuhkannya saat ini. Ku rasa aku hanya perlu membeli beberapa snack sebelum pulang. "Hai, El!", sialan, suara itu. Suara yang kini tengah ku hindari.
Menoleh ke arah suara, Quinn berdiri tepat di belakangku, kedua tangannya menggenggam troli. Wajahnya nampak berseri dengan senyuman lebarnya. Tidak lupa, Nathan yang mengalungkan tangan kanannya di pundak Quinn. Nathan menatapku selama beberapa detik sebelum melepas tangannya dari pundak Quinn.
"Hai, Quinn", jawabku, sebisa mungkin tersenyum hangat. Aku dapat merasakan Nathan terus memandangiku, membuat tubuhku bergetar. "Apa kau belanja sendiri?", suara Quinn sangat lembut, membuatku merasa bersalah jika terus menjaga jarak dengannya hanya karena ia adalah calon istri Nathan, bahkan ia tidak mengetahui apapun mengenai aku dan Nathan, benar?
"Uh, ya. Bersama dengan sayur dan buah", ujarku sembari menunjuk ke arah troliku. Sungguh, suaraku terdengar canggung. Nathan menatapku, "Dan juga bir?", kalimat pertama yang ia ucapkan setelah 1 minggu kami tidak berbicara.
"Yup", jawabku, tanpa menatapnya dan tetap menatap ke arah troliku. Aku dapat merasakan desiran amarah Nathan hanya dari suaranya. Merasa gagal mengontrol emosiku, aku emnatapnya. Kedua rahangnya nampak kaku, tatapannya menyiratkan amarah dan kecewa.
Aku tau bahwa ia sangat membenci kenyataan jika aku terlalu sering mabuk, namun itu yang ku butuhkan saat ini. Jauh darinya, dari Quinn, dari kenyataan bahwa aku masih dan akan selalu (mungkin) mencintai Nathan yang terlalu sering menyakiti hatiku dan sebentar lagi akan menikahi wanita lain. Wanita yang ku anggap 'teman'.
Terdengar suara ponsel berdering, ponsel milik Quinn. "Oh, ini klienku, aku harus menerima panggilan ini. Sayang, kau bisa berbelanja terlebih dahulu, aku akan menyusulmu nanti", ujar Quinn sebelum mengecup pipi Nathan, "Jangan lupa membeli kondom", bisiknya, cukup keras, disertai dengan kedipan mata kanannya, membuat darahku mendidih dan memalingkan wajahku dari keduanya. Aku masih merasakan tatapan Nathan membakarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Like We Did
Teen FictionNathan dan Eleanor, sepasang sahabat yang pada akhirnya menjadi sepasang kekasih, mau tak mau harus menerima kenyataan saat Nathan diharuskan untuk kembali London. Hubungan mereka mulanya berjalan dengan baik-baik saja hingga sesuatu yang tak diingi...