35. Broken

45 5 7
                                    

   Jantungku berdebar. Bahkan aku dapat merasakan amarah dalam tubuhnya yang membara hanya dengan menatap wajah tampannya. Bodoh. Lagi-lagi aku melukai perasaannya. Apa yang telah ku perbuat? Aku merusak hari-hari indahku dengannya selama kami bersama, tentunya sebelum ia kembali ke London.

   Selama beberapa detik hanya rasa dingin yang membentang diantara aku dan Nathan, sebelum akhirnya aku membuka mulutku. "Nathan, aku...-", tentu ini bukan saat yang tepat untuk membela diri. Eleanor, kau sangat bodoh. Begitulah ucapan yang terngiang-ngiang di benakku saat ini.

   Menarik nafas cukup panjang, aku berjalan mendekat ke arahnya yang masih menatapku nanar. Matanya tidak melembut, nafasku terasa semakin sesak. "Maafkan aku, Nathan", ucapku lembut, bahkan aku tak yakin ia dapat mendengarku.

   "Baguslah. Dengan begini aku menjadi semakin tega untuk mengatakan padamu bahwa setelah natal aku harus kembali ke London karena Ibu memiliki urusan penting", ucapnya dingin. Mataku seketika melebar. Melihat ke arahnya yang enggan menatapku.

   "Apa? B-Bagaimana bisa? Kau kembali setelah tahun baru, Nathan!", Jawabku sedikit berteriak. Dadaku terasa sangat sesak. Ini tidak mungkin. Ia tidak mungkin kembali ke London sebelum tahun baru. Aku belum siap untuk jauh darinya. Aku tau itu akan terjadi, tapi tidak sekarang, tidak secepat ini.

   "Ya. Aku kembali setelah Natal. Aku kemari berencana untuk mengatakannya padamu secara langsung. Tapi ternyata...", ia berhenti berbicara, mengeluarkan suara tawanya yang menusuk dadaku. "Ternyata kau sedang asik makan malam dengan teman laki-lakimu itu", Sambungnya dengan menatap tepat ke arah ku.

   Tubuhku terbujur kaku. Perlahan aku mendekat ke arahnya, tetap mengunci pandanganku pada kedua matanya yang terasa dingin. "Cukup, El. Aku rasa memang tidak seharunya kita berpacaran. Benar apa kata mereka, kita tidak bisa memiliki hubungan lebih dari sahabat".

   Seketika ucapannya membuat air mataku menetes. Menusuk dadaku, seakan aku tidak dapat bernafas. Apa yang ia ucapkan baru saja tidak pernah sedikitpun melintas di pikiranku. "Nathan, apa yang kau katakan?", jawabku lirih. Aku tidak tau apa yang harus ku katakan. Sungguh.

   Ia menarikk nafas panjang, menutup kedua matanya sembari menggenggam erat gelas yang entah dari kapan ada di genggamannya. "Apa yang aku katakan adalah aku ingin kita mengakhiri hubungan ini. Aku ingin kita putus. Ada baiknya jika kita bersahabat seperti dulu. Aku tidak perlu terus menerus cemburu jika kau pergi dengan laki-laki lain".

   Jawabannya sungguh menyakitkan. "Nathan, aku hanya makan malam dengan rekan kerjaku. Adriana ada disana, Piper juga. Semua ada disana. Bisakah kau mengerti itu?", Jawabku sedikit keras. Air mataku terus menetes, membasahi pipiku. Oh, sial. Ini adalah malam Natal terburuk yang pernah kulalui.

   "Oh? Kau pergi dengannya, Eleanor! Kau bisa membawa mobil Lili atau membawa mobilku atau bahkan kau bisa mengajakku!", suaranya cukup keras, setidaknya suaranya dapat menggambarkan seberapa marahnya ia padaku. Aku tau, seberapa besar usahaku untuk menjelaskan ini padanya, itu tidak akan berhasil.

   "Aku sangat mempercayaimu. Sangat! Tapi bahkan selama aku ada disini pun kau pergi dengannya tanpa seizinku! Apa yang dapat aku harapkan ketika aku harus kembali ke London??", suaranya tidak sekeras sebelumnya, namun tetap, amarahnya dapat tersampai dari rangkaian kata yang ia katakan.

   Berjalan mendekat ke arahnya, aku bersyukur ia tidak menjauh atau mengatakan apapun. Mengambil gelas yang ada di tangannya, aku meletakkannya di atas meja dapur. Segera aku menggenggam tangannya, aku dapat merasakan sekujur tubuhnya yang kaku. Sembari berusaha mencerna perkataannya, aku menatap tangan kami yang saling menggenggam.

   "Aku hanya tidak bisa melanjutkan ini. Ku pikir ini akan berakhir indah, El. Kau, aku, kita. Kita bisa tinggal bersama setelah ini. Tapi semuanya berujung sia-sia ketika kau tidak bisa memegang kepercayaanku. Apapun penjelasanmu, ini sudah membuat hatiku cukup sakit dan keinginanku sudah bulat", sambungnya. Suaranya mulai terdengar sedikit lembut, namun tetap dengan amarah yang membara.

Like We DidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang