**👆🏽👆🏽Adriana's outfit👆🏽👆🏽**
___________[Eleanor]
Setelah Nathan mengganti pakaiannya menjadi celana jeans hitam super ketat, seperti biasanya, dengan kaus berwarna biru tua, kami memutuskan untuk ke YoFresh dan membeli yogurt terlebih dahulu. Selama perjalanan Nathan terus mengatakan beberapa lelucon yang membuatku tertawa. Tangan kanannya pun terus menerus berada di atas pangkuanku, sesekali menggenggam tanganku, membuatku tersenyum.
Sesekali ia juga menatap mataku, membuatku tersenyum. "Aku tidak seberapa suka datang acara mewah seperti tadi, itu membuatku sedikit tidak nyaman", ujarnya setelah memutar setirnya. "Aku tidak mengeluhkan makanan mereka yang nikmat, namun aku terkadang tidak tau harus berbuat apa dengan orang-orang tersebut", lanjutnya sebelum melirik ke arahku.
Aku hanya menatap wajahnya dari samping. "Ya, aku dapat lihat itu", jawabku, membuatnya terkekeh, "Kau tak bisa melepaskan tatapanmu dari wajahku, eh?", tanyanya, menggodaku, membuatku memutar bola mataku dan ia hanya tertawa. "Aku hanya tidak siap jika aku harus kehilangan itu", bisikku, lebih mengarah pada diriku sendiri.
Ku kira Nathan tidak akan mendengar ucapanku, namun aku salah saat perlahan ia berhenti tertawa dan menoleh ke arahku dengan tatapan ibanya. Ia membelai pipiku lembut. "Maafkan aku, aku hanya bercanda", bisiknya lembut. Oh sial, aku bahkan tidak bermaksud untuk mengatakan itu. Sentuhannya membuat pipiku memerah.
"Ya, tak masalah", jawabku singkat dengan senyuman tipisku. "Jangan takut untuk kehilangan sesuatu, El", bisiknya lembut, tetap menatap ke depan. Dengan sigap aku menoleh ke arahnya. "Maksudmu?", tanyaku kebingungan dengan kedua alis yang menukik.
"Tidak, hanya saja aku ingin mengatakan bahwa semua akan ada saatnya. Jika kau terlalu takut dan memikirkan sesuatu yang sudah pasti akan hilang, itu akan membuatmu sengsara dan lebih berat unuk mengikhlaskannya", ujarnya lembut sebelum melirik ke arahku untuk sepersekian detik.
Oh, apa yang hendak ia sampaikan? "Dan tujuanmu mengatakan itu adalah agar aku dengan mudah mengikhlaskan kepergianmu kembali ke London disaat aku baru mentetahui hal itu 2 hari sebelum keberangkatanmu?", jawabku tidak kalah tenang.
Tidak, aku berusaha setenang mungkin, namun tentu itu tidak mudah karena pikiranku akan kepergiannya mulai menghantuiku. Kurang dari 24 jam, ia akan pergi jauh bahkan aku belum dapat berpikir dengan tenang mengenai apa yang harus ku lakukan setelah ia tak ada dan bagaimana caraya agar aku dapat membiarkannya kembali ke London tanpa harus dihantui oleh rasa sedih yang berkepanjangan.
"El, aku tidak mengatakan bahwa ini harus ada hubungannya dengan kepergianku. Tapi ya, aku tentu tidak ingin melihatmu menangis dan meratapi kepergianku. Aku sangat mencintaimu, kau pun begitu dan aku percaya itu, namun melihatmu menangis adalah hal yang paling menyakiti hatiku", jelasnya tanpa menatap ke arahku. Suaranya tetap tenang, seakan-akan ia sudah merencanakan pembicaraan ini sejak awal.
"Bisakah kau bayangkan jika kau berada di posisiku, Nathan? Aku, diantara banyak orang yang kau kenal, aku adalah sahabat yang kini adalah kekasihmu, setelah 10 tahun bersama, apa kau bisa membayangkan bagaimana perasaanku saat mengetahui bahwa aku adalah orang terakhir yang mengetahui tentang hal ini?", ujarku sembari menatap ke arahnya.
Suaraku mulai terdengar parau, namun sebisa mungkin aku menahan air mataku untuk menetes. Aku dapat melihat Nathan yang sesekali menarik nafas dalam, menandakan bahwa sesungguhnya ia pun sudah mulai diambang emosi. Dari samping, aku mendapati tulang rahangnya yang mulai menegang.
"Aku sudah bisa mengira bahwa kau tidak akan merasakan bagaimana rasanya menjadi diriku, jadi berhentilah berbicara seakan-akan kau mengerti betapa susahnya bagiku untuk tidak menangis saat teringat bahwa disini sahabat sekaligus kekasihku akan pergi ke belahan dunia lain kurang dari 24 jam disaat aku sendiri bahkan tidak tau bagaimana caranya berpikir jernih agar dapat mengikhlaskan kepergiannya"
KAMU SEDANG MEMBACA
Like We Did
Teen FictionNathan dan Eleanor, sepasang sahabat yang pada akhirnya menjadi sepasang kekasih, mau tak mau harus menerima kenyataan saat Nathan diharuskan untuk kembali London. Hubungan mereka mulanya berjalan dengan baik-baik saja hingga sesuatu yang tak diingi...