21.Story

37 7 2
                                    

[Eleanor]

   Kami baru saja tiba di apartemen Mason. Ia tinggal di sekitaran Brooklyn, tidak seberapa jauh dari kampusnya, tentunya. "Duduklah, aku akan mengganti pakaianku dan mengambil laptop", ujarnya hangat sebelum ia menghilang dibalik dinding. Aku tetap berdiri di ruang keluarganya, melihat ke sekitaran.

   Apartemen ini tidaklah besar, tetapi juga tidak kecil. Temboknya yang berwarna putih membuat apartemen ini terlihat elegan. Terdapat televisi berukuran sedang, menggantung di dinding ruang keluarganya. Tak hanya televisi, sebuah sofa yang dapat memuat 3 orang berwarna abu-abu pun membuat ruang keluarga ini semakin indah.

   Terdapat sebuah rak buku di samping meja yang berada di bawah televisi. Rak tersebut berisi beberapa buku yang ku asumsikan adalah buku kuliah Mason. Meja yang berada di bawah televisi hanya berisi beberapa barang yang tidak terlalu penting, seperti pigora foto yang ku asumsikan adalah masa kecil Mason dan saudaranya, serta gelas kecil berisi kunci-kunci serta lilin.

   Terdapat dinding yang memisahkan dapur dan ruang keluarga, setidaknya dinding tersebut menutup seperempat bagian dapur Mason. Dapurnya pun terlihat hangat dengan dinding berwarna krem, sangat senada dengan meja bar nya yang terbuat dari marbel putih. Terdapat sekeranjang buah-buahan yang membuat dapurnya sedikit lebih hidup. Tempat tinggalnya sangatlah rapi, tidak seperti yang ku bayangkan sebelumnya.

   Menaruh tasku di sofa, aku memilih duduk di ujung kanan sofa, dan tak lupa terdapat sebuah meja kayu berwarna hitam tepat di hadapan sofa. Terdapat beberapa koran dan majalah di atasnya, serta lilin yang ku asumsikan sering ia gunakan, memgingat ukurannya yang sudah sedikit mengecil. Oh, ia sangatlah rapi.

   "Kau mau minum?", terdengar suaranya yang membuatku menoleh ke arah pintu kamarnya di sebelah kanan ruang keluarga. "Oh-uh, tentu. Apapun yang kau miliki tak masalah bagiku", jawabku ramah. Kini ia tengah mengenakan celana panjang santai berwarna hitam dan sebuah kaus abu-abu, tak lupa laptop yang ia genggam di tangan kanannya.

   Meletakkan laptopnya di atas meja di hadapanku, "Bir?", tanyanya serius, membuatku melebarkan mata ke arahnya. Yang ku dapati adalah ia tertawa terbahak-bahak, membuatku mengerjapkan mataku sekali sebelum menatap ke arah tubuhnya yang tinggi. "Aku bercanda. Tentu aku tidak akan memberikanmu bir. Jeruk atau apel?", tawarnya ramah.

   Memutar bola mataku, aku menjawab, "Apel, tolong". Ia berjalan menuju dapurnya, sementara aku mengambil ponselku dari dalam tas, mendapati 1 pesan dari Nathan yang ia kirim 10 menit yang lalu.

Dari: Nathan
Aku sangat lelah. Aku akan menghubungimu besok pagi. Sampai jumpa, sayang. Selamat beristirahat. Aku mencintaimu, xx

Untuk: Nathan
Tentu. Sampai jumpa, sayang. Tidurlah yang nyenyak. Aku mencintaimu, sangat, dan merindukanmu. xx

   Setelah membalas pesan Nathan, aku mengirimi ibu pesan, mengatakan bahwa aku sedang berada di apartemen Mason, membuat desain undangan agar dapat ku cetak besok sebelum aku dan ibu serta Lili mencari pakaian.

   "Untukmu", ia memberikanku segelas jus apel, sementara ia memegang segelas jur jeruk untuknya dan sebuah mangkuk berisi keripik kentang. Oh, ia sangat baik. Aku akan sangat senang jika memiliki saudara laki-laki sepertinya. Sungguh.

   Ia mengambil duduk di sebelahku, tidak terlalu dekat, tentunya. Ia meraih laptopnya dan menyalakannya. Sembari menunggu laptopnya, ia meraih remote televisi dan menyalakannya. Ia memilih saluran MTV agar keadaan rumah tidak terlalu sepi.

   "Jadi apa kau sudah memiliki gambaran untuk undangan ini?", tanyanya sembari memfokuskan tatapannya ke layar laptop, membuka sebuah aplikasi yang ku asumsikan untuk membuat desain undangan dan sebagainya.

Like We DidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang