If The World Was Ending - JP Saxe & Julia Michaels (Original Demo)
~~~
[Eleanor]
Adriana megatakan bahwa ia akan datang sekitar pukul 12 siang, sementara kini jam menunjukkan pukul 9 pagi. Merapikan seisi apartemenku sembari mendengarkan suara televisi yang ku biarkan menyala, aku menyiapkan secangkir kopi dan sepiring sandwich yang baru saja ku buat.
Menyeduh kopiku di dapur, aroma kopi dan hangatnya berhasil membangkitkan semangat di tubuhku. Setelah merapikan apartemen dan menikmati sarapanku, aku memutuskan untuk membeli sushi dan pizza di tempat favoritku untuk makan siang bersama dengan Nathan dan Adriana, mengingat aku akan kesulitan jika harus memasak seorang diri.
Aku memutuskan untuk mandi kemudian mengenakan gaun santai yang memperlihatkan hampir seluruh bagian kaki dan lenganku. Gaun santai berwarna kuning dengan motif bunga di bagian dadanya. Menatap diriku sesaat di cermin, mengingat kapan terakhir kali aku mengenakan rok maupun gaun santai di hari seperti ini.
"Hai", suara Nathan terdengar sesaat setelah aku mengunci pintu apartemenku. Menoleh ke arahnya, aku memberinya senyuman hangat. "Kau tidak lupa untuk makan siang bersamaku dan Adriana, benar?", tanyaku sembari memasukan kunci apartemenku ke dalam tas di genggamanku.
"Tentu tidak, apa aku terlalu pagi untuk makan siang? Aku sudah tidak sabar", ujarnya dengan memperlihatkan deretan gigi putihnya yang menawan. Terkekeh, "Aku baru akan membeli makan siang untuk kalian, ku rasa aku tidak sanggup jika harus memasak", jawabku, mengankat kedua bahuku.
"Aku berencana akan membeli kopi. Quinn kehabisan kopi, lebih tepatnya ia lebih menyukai teh dan aku membutuhkan kopi. Apa kau ingin ku temani?", tanyanya. Menatapku hangat, aku menganggukkan kepalaku, memberikan kunci mobilku, atau mungki mobilnya, ke genggamannya.
Kami berjalan menuju halaman parkir, membicarakan beberapa hal terkait rencana usahanya membuka kafe di New York. "Kau sangat menyukai mobilku, eh?", ujarnya, disertai dengan seringai di wajahnya, sesaat setelah menyalakan mesin mobil.
Memutar kedua bola mataku, "Aku sudah terlanjur menyukainya jadi ku rasa menyervisnya secara rutin sudah cukup membuatku merasa aman", jawabku. Ia terkekeh.
Hal ini mengingatkanku pada saat ketika kami masih bersekolah. Kenangan ketika kami menikmati jalanan New York di pagi hari, ia mengendarai mobilnya. Matahari menyinari wajahnya yang rupawan.
Menyalakan lagu kesukaan kami semasa sekolah, aku menatap keluar jendela, melihat jalanan New York yang tengah dipenuhi oleh para pencari pancake atau kopi di pagi hari.
Yet you understand
Yeah like no one can
Know that we don't look like much
But no one fucks it up like us"Aku masih mengingat lagu ini", ujar Nathan. Menoleh ke arahnya, ia melirikku, memberiku senyuman hangat pun tatapannya kembali berpusat di jalanan New York. "Aku mendengarkannya setiap aku merindukanmu, lebih tepatnya aku mendengarkannya hampir setiap hari ketika di mobil maupun rumah", lanjutnya.
Aku menatap ke wajahnya, kembali mengingat kenangan kami di dalam mobil yang masih sama selagi mendengarkan lagu ini 7 tahun yang lalu. "Itu mengapa Quinn mengetahui lagu ini dan menganggap bahwa lagu ini adalah lagu kami", ujarnya.
Menganggukkan kepalaku perlahan, aku kembali menatap jalanan New York. "Apa kau jadi menemui Quinn hari ini?", tanyaku, menoleh ke arahnya. Ia menganggukkan kepalanya sekali, menjawab, "Ya, ia akan kembali ke apartemen, dan ku rasa aku akan menginap di hotel untuk beberapa malam sebelum mencari apartemen mungkin?", jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Like We Did
Teen FictionNathan dan Eleanor, sepasang sahabat yang pada akhirnya menjadi sepasang kekasih, mau tak mau harus menerima kenyataan saat Nathan diharuskan untuk kembali London. Hubungan mereka mulanya berjalan dengan baik-baik saja hingga sesuatu yang tak diingi...