[Eleanor]
Suara alarm pagi ini sangat berhasil membangunkanku dari tidur yang sesungguhnya tidak seberapa nyenyak. Bergegas membuka tirai kamar, kemudian menuju ke kamar mandi untuk membasuh muka dan menggosok gigi. Tak lupa juga aku menguncir rambutku menjadi ekor kuda.
Jam masih menunjukkan pukul 5:18 pagi, aku masih memiliki cukup waktu untuk membuat smoothie yang selalu menjadi teman setia saat aku akan lari pagi. Aku biasa mencampurkan beberapa macam sayur dan buah-buahan agar terasa lebih manis.
Setelah menghabiskan waktu di kamar mandi, aku bergegas untuk mengganti kaos ku. Aku memutuskan untuk tetap memakai celana spandex yang sudah ke kanakan dari semalam. Aku mengganti kaosku dengan sport bra keluaran Adidas. Setelah itu, aku mengambil headset dan ponselku sebelum akhirnya memutuskan untuk turun ke bawah.
Aku mengambil sepatu lari ku di lemari sepatu, aku memilih untuk memakai sepatu Adidas kali ini, entahlah, mungkin karena aku baru saja membelinya beberapa bulan yang lalu, dan lagi aku sangat menyukai produk Adidas. Ya, aku sangat senang lari pagi, tapi jika aku memiliki banyak tugas, aku akan mengurungkan niatku untuk lari pagi dan lebih memilih untuk tidur lebih lama agar tidak mudah mengantuk dan lelah.
"Selamat pagi", kepalaku seketika terangkat saat aku melihat ayah yang baru saja turun dari tangga. Ia masih mengenakan piama hitamnya dengan mata yang masih sedikit mengantuk. "Pagi. Jam berapa ayah pulang?", tanyaku sembari menyusul ayah ke arah dapur. Aku mengeluarkan beberapa bahan seperti pisang, alpukat, oats, dan kubis untuk membuat smoothie. Sedangkan ayah mengambil satu botol air mineral dan meminumnya.
"Jam 12, ibumu juga. Tapi ia masih tidur, sepertinya ia sangat lelah. Apa kau akan membuat smoothie?", ujarnya sebelum duduk di salah satu kursi bar, ia menyalakan iPadnya dan mulai membaca beberapa berita. "Ya, apa ayah mau?", tanyaku saat aku baru saja mengeluarkan peralatan membuat smoothie dan satu botol minum berukuran sedang yang selalu ku pakai untuk membawa smoothie ini ke sekolah maupun lari pagi.
"Ya, tolong", jawabnya dengan senyuman lebarnya sebelum memusatkan perhatian ke iPadnya kembali. Aku mulai memotong-motong buah dan sayuran menjadi beberapa bagian agar lebih mudah hancur. "Apa Lili masih tertidur?", tanya ayah sembari menatap ke arahku.
"Oh, ia menginap di rumah temannya. Ku pikir ayah dan ibu sudah tau", jawabku sebelum memasukkan bahan-bahan ke dalam blender. "Oh, ya, tak masalah. Apa semalam kau sendirian?", tanyanya sesaat setelah aku menyalakan blender.
Suara mesin blender memenuhi ruangan, namun tidak sekeras itu, setidaknya aku masih bisa mendengar suara jari ayah yang menekan beberapa angka dan huruf di iPadnya. "Um, ya", jawabku singkat. Bayangan akan semalam perlahan kembali lagi ke benakku. Sialnya itu sangat menggangguku.
Setelah melihat semua bahan mulai larut menjadi satu, aku mematikan mesin blender dan menuangkannya ke dalam 2 buah gelas, satu untukku dan stau untuk ayah. "Jam berapa kau pulang dari acaramu bersama Nathan?", tanyanya sembari menggerakkan kedua alisnya beberapa kali, terlihat sunggingan tipis di sudut kanan bibirnya.
Menyerahkan gelas milik ayah, aku pun lebih memilih untuk mengalihkan perhatian secara perlahan dngan mencuci peralatan dapur yang baru saja ku gunakan. "Jam 9", jawabku singkat. Aku enggan memperjelas apa saja yang kami lakukan karena aku tidak ingin kembali mengingat apa yang terjadi semalam. Bahkan aku masih bisa merasakan perih di mataku karena terlalu banyak menangis.
"Wow, apa itu menyenangkan?", tanyanya. Oh sial, apa ayah tak bisa melihat bengkak di area mataku? "Ya, tentu", jawabku singkat, lagi. Aku hanya berharap agar Adriana segera datang. Setelah mencuci peralatan dapur, aku mengambil duduk tepat di hadapan ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Like We Did
Fiksi RemajaNathan dan Eleanor, sepasang sahabat yang pada akhirnya menjadi sepasang kekasih, mau tak mau harus menerima kenyataan saat Nathan diharuskan untuk kembali London. Hubungan mereka mulanya berjalan dengan baik-baik saja hingga sesuatu yang tak diingi...