18.Day 1

46 7 2
                                    

[Eleanor]

Jam bergulir sangat lamban di kelas ini tanpa keberadaan Nathan. Kelas seni, ya, salah satu kelas dimana aku terbiasa memilikinya bersama Nathan. Kali ini kami hanya diperintahkan untuk mendengarkan beberapa penjelasan dari Nyonya Rose. Kini aku tengah duduk bersama dengan Kenny, salah satu murid di kelas ini yang memiliki lukisan yang sangat indah. Setidaknya ia sangat baik dan mau menemaniku duduk di bangku ini.

"Setelah kalian mencatat ini, kalian bisa membawa pulang 2 lukisan kalian yang sudah kalian kerjakan beberapa minggu lalu dan bisa meninggalkan kelas", ujar Nyonya Rose kepada seisi kelas. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku hingga usai. Memasukkan bukuku ke dalam tas, "Sampai jumpa, Kenny", ujarku ramah ke arahnya yang masih mencatat penjelasan Nyonya Rose. "Uh, ya, sampai jumpa, Ele", ujarnya hangat sebelum kembali mencatat.

Berjalan menuju ke arah lemari yang berisi puluhan kanfas, aku mengambil 2 buah kanfas yang terdapat namaku di ujung bawah lukisannya. Tatapanku seketika tertuju kepada 2 buah lukisan indah yang berada tepat di samping lukisanku. Terdapat nama 'Nathaniel' di ujung bawahnya. Aku mengambil kedua kanfas itu sebelum mendekati meja Nyonya Rose.

"Permisi, um...Bisakah aku membawa lukisan milik Nathan?", tanyaku kepada Nyonya Rose yang kini tengah menatapku lembut. Senyumannya mengembang, "Tentu, Eleanor. Bawalah", ujarnya ramah. "Baiklah, terima kasih, Nyonya Rose. Selamat siang", ujarku lembut sebelum bergegas keluar ruangan kelas. Membawa 4 buah kanfas di tangan kananku dan tas hitam di pundak kiriku tidaklah semudah yang ku bayangkan.

Aku memutuskan untuk menaruh ke-4 kanfas ini di dalam mobilku, yang ku parkirkan di tempat biasa Nathan memarkirkan mobilnya. Setelah memasukkan ke-4 lukisan ke dalam kursi belakang penumpang, aku kembali berjalan memasuki gedung sekolahan dan mendapati Adriana yang baru saja keluar dari toilet. "Ana", seruku ke arahnya.

Rambut cokelatnya seketika melayang saat ia menoleh ke arahku yang berada tepat di belakangnya. Sekejap aku memejamkan mataku serta mengernyitkan wajahku beberapa kali saat ujung-ujung rambutnya mulai menusuk ke wajahku. "Uh-oh, maafkan aku, El", ujarnya dengan suara tawanya, sembari membelai kedua pipiku.

Membuka mataku, aku memutar bola mataku sebelum terkekeh di hadapannya. "Makan siang?", tanyaku sembari memainkan kedua alisku. Adriana membalasnya dengan suara tawanya yang renyah sebelum menarik tanganku ke arah kantin. Nathan belum membalas pesanku sejak kelas seni di mulai, aku tidak mempermasalahkannya, mungkin ia masih sibuk.

   "Akan ku ambilkan untukmu, apa yang kau mau?", tanya Adriana sesaat setelah kami menduduki salah satu bangku di samping jendela. "Um, salad dan muffin, tolong. Jangan lupa yogurt dan air mineral", uajrku ramah ke arahnya yang kini membalas ucapanku dengan anggukan kepalanya. "Baiklah, tunggu".

   Aku mengeluarkan ponsel dari tas milikku yang berada di samping kiri pahaku. Menemukan satu buah pesan dari Nathan yang baru saja masuk 2 menit yang lalu. Dengan senyuman lebar antusiasku, aku membuka pesannya.

Dari: Nathan
Hei maaf aku baru sempat membalasnya, aku baru saja merapikan rumah ini. Sekarang aku sedang menunggu makan malamku, aku memesan pizza karena aku terlalu lelah jika harus pergi keluar. Ibu masih berada di kantor. Apa kau sedang kelas?

   Tanpa berpikir panjang, aku mengeluarkan earphone, menyambungkannya ke ponselku sebelum menghubungi Nathan via FaceTime. Tak memerlukan waktu lama bagiku untuk melihat wajahnya yang sudah ku rindukan sejak kepergiannya. Ku asumsikan ia sedang bersantai di ruang keluarga, terdengar suara televisi yang baru saja ia matikan.

   "Hei", sapaku kepadanya dengan senyuman yang sangat lebar, mungkin kedua ujung bibirku dapat menyentuh daun telingaku. Ia membalas senyumanku hangat sebelum menjawab, "Hei, sayang". Oh, suaranya bahkan masih terekam jelas di benakku.

Like We DidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang