44.Confused

23 5 8
                                    

[Eleanor]

Berdetak. Jantungku berdetak dengan sangat cepat ketika mendengar ucapannya. Apa ia benar-benar masih mencintaiku? Mana mungkin ia mencintaiku ketika ia adalah satu-satunya yang membuat keputusan untuk meninggalkanku dengan harapan kosong selama 7 tahun ini? Bagaimana dengan Quinn?

Menggelengkan kepalaku perlahan, "Omong kosong", bisikku, lebih kepada diriku sendiri. Nathan menggenggam kedua tanganku, menghantarkan rasa hangat ke seluruh tubuhku. Sial. Apa yang kami lakukan semakin salah, aku merasa teman yang sangat buruk bagi Quinn. Ia akan sangat kecewa padaku.

"Jujur saja, hingga saat ini aku masih sangat ingin dan berusaha untuk mencintai Quinn, namun perasaan itu tidak muncul, tidak sebesar ketika aku bersamamu, ketika kita menjadi sepasang kekasih", jelasnya, menatapku dalam.

Ini sungguh salah, seruku dalam hati. Pun jika aku diminta untuk mengulang waktu, aku tidak akan menolaknya untuk masuk ke dalam apartemenku, tidak akan menolak kecupannya yang seketika membuat sekujur tubuhku melayang.

"Ia kekasihmu, Nathan. Ia temanku, teman bekerjaku! Apa kau gila?", seruku sedikit membentak. Aku menghempaskan kedua tanganku, lepas dari genggamannya. Ia hanya menggeleng, "Tidak. Aku yang mengerti mengenai perasaanku dan aku yakin bahwa perasaanku pada Quinn hanya sebatas menyayangi, menyukai dan mengagumi tanpa rasa cinta seperti kepadamu kala itu".

Dadaku terasa sesak, seakan ucapannya adalah busur yang menancap tepat di relung hatiku. "Apa yang kau inginkan?", tanyaku, mengabaikan ucapannya. Ia menatapku, sial, kedua matanya sangat indah. Ia hanya terdiam. Menghempaskan tubuhku ke sofa, aku menenggelamkan wajahku di kedua telapak tanganku.

   Terdengar suara ponsel berdering, "Hai", suara Nathan yang nampaknya baru saja menerima panggilan masuk. "Oh, aku sedang berkunjung ke rumah teman lama ku", jawabnya. Menoleh ke arahnya, ia tengah menggenggam ponselnya di telinga sembari menatapku lembut. "Tentu. Sampai jumpa", jawabnya sebelum mengakhiri panggilan.

   Nathan berjalan mendekat, kemudian duduk tepat di sampingku. Sementara aku enggan berkutik, hanya duduk terdiam. "Aku hanya ingin kita kembali berteman, El. Seperti dulu. Aku hanya ingin kau memaanfkanku", ujarnya lembut.

   "Memaafkanmu? Apa kau gila? Aku menunggumu, Nathan. Tujuh tahun!", suaraku sedikit terdengar lebih tinggi dibandingkan biasanya. Ia menunduk, sementaa aku memusatkan tatapanku ke arah foto-foto kami yang terpampang jelas di hadapanku.

   "Bagaimana bisa aku memaafkanmu ketika selama ini aku menangis hingga lrut malam hanya karena merindukanmu? Dimana dirimu saat aku menangisi, memikirkan dan merindukanmu setiap detiknya? Kau tidak ada disini, Nathan. Tidak disini! Kemana kau setiap aku berulangtahun? Apa kau seketika lupa mengenai tanggal ulangtahunku?", suaraku sedikit meninggi, namun wajahnya tetap menunduk ketika aku berpaling ke arahnya.

Air mataku kembali berlinang. "Aku berhak mendapat jawaban mengenai alasan kau melakukan ini kepadaku selama 7 tahun belakangan ini", ujarku. Ia menoleh ke arahku. Tekejut, matanya merah, seakan ia juga menahan air matanya. "Apa kau akan memaafkanku ketika aku mengatakan yang sesungguhnya? Ketika aku menjelaskan alasan dibalik kebodohanku?", jawabnya dengan tatapan lirih.

Bingung harus menjawab apa, aku kembali menundukkan kepalaku, menarik nafas dalam sebelum kau mendengar Nathan membuka kaleng sodanya dan menyesapnya. "Aku hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk menjelaskan ini padamu. Jika kau masih tetap tidak percaya, maka itu hak mu untuk memaafkanku atau tidak", sambungnya.

Aku enggan menjawab, hanya terdiam menatap lurus ke arah foto-foto kami saat aku mendengar ia menghembuskan nafas panjang. "Hari itu aku sengaja tidak memberi tau kepadamu jika penerbanganku dipercepat dan aku pikir tidak akan menjadi masalah besar jika kita tidak bertemu. Semakin berat bagiku jika harus bertemu denganmu lagi pagi itu".

Like We DidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang