42.Heart

41 4 8
                                    

[Eleanor]

Berjalan menyusuri halaman parkir, sesekali aku mendengar percakapan antara Nathan dan Quinn. Mendengar suara tawa Quinn tepat di belakangku yang ku yakini tengah menggenggam tangan Nathan.

Setibanya di mobil, aku menarik nafas dalam. Nathan tentu mengetahui mobil ini, pikirku.

Membuka pintu bagasi untuk Nathan, ia kembali menatapku dalam, sementara Quinn memilih untuk masuk ke dalam mobil, ia mengambil kursi penumpang di bagian belakang.

Nathan memasukkan 2 koper dan 1 ransel ke dalam bagasi sebelum menutup pintunya. "Kau masih menggunakan mobilku", adalah hal pertama yang ia ucapkan.

Menoleh ke arahnya, ia memberiku senyum simpul yang dengan cepat membuat dadaku semakin terasa sesak.

Menarik nafas dalam, dengan cepat aku berjalan menuju kursi pengemudi. Beruntung saja, Nathan memilih untuk duduk di belakang bersama Quinn.

"Kau tau, aku bisa menyetir mobilnya", ucap Nathan sesaat setelah aku menyalakan mesinnya. Menatapnya dari spion mobil, aku mendapati kedua matanya telah terpaku dengan kedua mataku.

"Tidak perlu". Jawabku singkat. Selama perjalanan menuju apartemen, beberapa kali aku mendengar percakapan mereka mengenai kafe yang akan dibuka oleh Nathan.

"El, kau tau, di London Nathan memiliki kafe yang sangat ramai. Red velvet nya sangat enak, kau harus mencobanya!", ujar Quinn dengan antusias. Melirik ke arah spion, aku mendapati kedua mata Nathan masih menatapku, sementara Quinn bersandar di pundaknya.

Tatapan Nathan membuatku bergetar. Aroma tubuhnya masih sama, mint. Aku merasakannya ketika ia berdiri di sampingku. Dengan cepat aroma tubuhnya kembali menguasai seisi mobil, seperti 7 tahun yang lalu.

"Oh, dan sayang, aku membelikan mu red velvet untuk kita makan nanti. Menurut El, ini adalah red velvet terenak yang ia tau", ujar Quinn. Sayang. Itu adalah pertama kalinya aku mendengar Quinn memanggilnya 'Sayang'.

"Oh, tentu. Kau pasti juga menyukai red velvet, El", ujar Nathan. Tanpa menjawab, aku yakin ia masih mengingatnya dengan jelas. Berdiri di kamarku dengan sepotong red velvet sembari meminta maaf tiada henti.

Enggan menjawab, aku tidak ingin jawabanku membuatku menangisi kenangan masa lalu ku dan Nathan yang mulai kembali satu per satu. Setidaknya tidak saat ini, di hadapan Nathan dan Quinn yang tengah bermesraan.

Perjalanan menuju apartemen ku rasa membutuhkan waktu yang lebih lama karena keberadaannya. Sesampainya kami di apartemen, Quinn mengatakan bahwa ia akan menuju apartemennya terlebih dulu karena ia ingin ke kamar mandi. Tidak lupa ia membawa bebrapa tas belanjaannya.

Sementara disinilah aku, berdiri menunggu Nathan membawa beberapa bawaannya, termasuk paper bag red velvet pemberian Quinn. "Kau tinggal sendiri?", ujarnya sembari menurunkan koper terakhirnya.

"Ya", ujarku singkat. Menutup pintu bagasi, dengan cepat aku berjalan menuju pintu masuk apartemen, dan saat itu pula aku merasakan genggamannya di pergelangan tanganku.

Sentuhannya. "El, ku mohon, beri aku kesempatan untuk menjelaskan ini semua", ujarnya. Suaranya cukup lirih, cuup berhasil membuat desiran darah di tubuhku membeku.

Menoleh ke arahnya, ia menatapku iba, "Nathan. Kau tau, apa yang kau perbuat jauh lebih parah dibandingkan hanya menghancurkan ku dan kau tidak akan bisa merapikan kepingan-kepingan diriku yang telah kau hancurkan", ujarku.

Perkataanku cukup membuatnya terpaku, dengan cepat aku berjalan menuju pintu masuk apartemen dan meninggalkannya seorang diri. Jantungku berdetak dengan sangat hebat. Tidak tertahan lagi, air mataku mengalir dengan deras.

Like We DidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang