[Eleanor]
"Bisa aku bantu?", tanyaku padanya yang kini tengah menuangkan kopi hitam ke sebuah gelas. Ia memberiku senyuman singkat, "Tidak, ini sudah selesai", ujarnya sebelum memanggil nama si pengunjung dan memberikannya pada pengunjung yang kini tengah berjalan kembali ke tempat duduknya.
Aku kembali duduk di tempatku sebelum akhirnya Mason menyusul dengan membawa laptop keluaran Apple yang ku asumsikan miliknya, mengingat terdapat sebuah stiker huruf 'M' dibagian depan laptopnya. Aku hanya menyangga daguku, sesekali melihat ke arah pengunjung dan mendengarkan beberapa musik yang terdengar dari speaker kafe.
And when the daylight comes I'll have to go
But tonight I'm gonna hold you so close
'Cause in the daylight we'll be on our own
But tonight I need to hold you so closeOh, betapa lagu ini seketika mengingatkanku akan Nathan. Mengingatkanku akan dirinya beberapa hari yang lalu, bagaimana ia mendekapku sangat erat saat kami tidur bersama sebelum ia pergi meninggalkanku di pagi harinya.
This is way too hard
'Cause I know, when the sun comes up
I will leave, this is my last glance
That will soon be memoryMenggelengkan kepalaku perlahan sembari menghirup nafas dalam, "Apa yang kau lakukan?", tanyaku pada Mason, saat aku mendapati ia mulai sibuk dengan laptopnya. "Oh, aku sedang membuat desain untuk brosur sebuah toko roti di dekat rumahku", ujarnya singkat sembari menatap ke arahku hangat. Oh, ia sangat baik.
"Kau melakukannya? Maksudku, kau bekerja untuk ini?", tanyaku sedikit terkejut. Mengintip ke arah layar laptopnya, aku mendapati karyanya yang baru setengah jadi. Latar belakangnya berwarna putih dan terdapat berbagai macam gambar kue-kue yang menarik. "Ya, aku bekerja untuk sesuatu yang ku sukai", jawabnya singkat sembari menggidikkan bahu.
Aku hanya menganggukkan kepalaku sebelum menyapukan pandanganku ke arah meja kasir, mengamati Adriana yang tengah berbincang-bincang dengan Emily. Posisi meja bar, tempat dimana terdapat berbagai mesin pembuat kopi ini tidak seberapa jauh drai meja kasir. Adriana juga sudah mengenakan celemek hitam, sama seperti milikku dan pegawai yang lain.
"Jadi, tadi kekasihmu?", tanyanya, membuat pandanganku kembali tertuju ke arah matanya. "Oh, ya, ia adalah kekasihku", jawabku sembari menganggukkan kepalaku ke arahnya. "Kau bisa menceritakan padaku tentangnya, jika kau mau. Maksudku agar kita memiliki bahan pembicaraan", ujarnya dengan senyuman hangat.
Oh. Apakah aku harus menceritakan mengenai Nathan pada rekan kerja yang baru saja ku kenal tidak lebih dari 3 jam ini? "Um, y-ya. Namanya Nathan, ia tinggal di London", jawabku berusaha sesantai mungkin. Aku tidak ingin ia menanyakan hal yang lebih banyak mengenai hubungan kami.
"Wow, sangat jauh, eh?", tanyanya dengan wajah terkejut yang membuat kedua alis tebalnya terangkat. Terkekeh, aku menjawab, "Ya, sangat jauh. Ia baru saja pindah kemarin Minggu bersama ibunya", jawabku, memberinya petunjuk agar ia dapat sedikit mengerti mengenai ceritaku.
"Oh, aku mengerti", jawabnya singkat sembari menganggukkan kepalanya. Ia kembali memusatkan tatapannya ke arah laptop yang berada di hadapannya. "Jadi apa kau memiliki kekasih?", oh sial, apa yang membuatku menanyakan pertanyaan semacam ini? Bodoh.
"Dulu. Ya, dulu aku memiliki kekasih, tidak untuk saat ini", ujarnya sedikit berbisik aku mendapati kedua tulang rahangnya yang mengeras, membuatku sedikit bergidik ngeri dan merasa bersalah telah menanyakan hal tersebut.
"Oh-uh, ya, aku mengerti", jawabku sebelum aku mendengar suara lonceng kafe berbunyi, menandakan seorang pelanggan baru saja datang atau mungkin pulang. Menoleh ke arah pintu, aku mendapati Piper memasuki kafe. Ia nampak lebih santai dengan celana jeans biru tua dan kaus polos berwarna merah muda.

KAMU SEDANG MEMBACA
Like We Did
Teen FictionNathan dan Eleanor, sepasang sahabat yang pada akhirnya menjadi sepasang kekasih, mau tak mau harus menerima kenyataan saat Nathan diharuskan untuk kembali London. Hubungan mereka mulanya berjalan dengan baik-baik saja hingga sesuatu yang tak diingi...