[Eleanor]
Cahaya matahari perlahan menerobos masuk melalui celah-celah tirai kamarku. Suara tv di ruang keluarga pun berhasil terdengar hingga ke kamarku. Membuka mataku secara perlahan, aku merasakan sesuatu yang menimpaku. Tangan Nathan.
Senyuman pertamaku hari ini karenanya. Dan aku bersyukur akan hal itu. Tangannya dengan sempurna mendekap tubuhku. Wajahnya tenggelam di tengkuk leherku, aku dapat merasakan hembusan nafasnya yang hangat.
Sedikit melirik ke arahnya, aku dapat melihat wajahnya yang tetap tampan walau sedang tidur. Aku sangat bersyukur ia kembali ke pelukanku. Walaupun bayangan akan ia yang bukan lagi kekasihku cukup menyakitkan untuk diingat.
Perlahan aku membawa tanganku ke rambutnya yang semakin lebat. rambutnya sangatlah halus dan wangi. Mint. Ciri khas Nathan yang selalu membuatku ingin berada dekat dengannya.
Aku dapat merasakan sentuhan bibirnya yang sedikit menyentuh tengkuk leherku. Betapa aku merindukan ciuman di pagi hari darinya. "Kau sangat menikmati pemandanganmu, huh?". Sial. Suara paginya sangat seksi dan menggoda.
Ia membuka sedikit matanya, memberiku senyuman di pagi hari yang berhasil membuat kupu-kupu di perutku berterbangan. "Selamat pagi juga, Nathan", jawabku terkekeh. Dengan cepat ia memelukku erat dan memberiku ciuman. Tepat di bibir.
Tubuhku seketika membeku. Tatapanku mengarah pada matanya yang juga memperlihatkan isyarat terkejutnya. Dengan sigap ia melepas pelukannya di tubuhku dan beranjak duduk. Oh, aku masih ingin merasakan sentuhan hangatnya.
"M-Maaf. Ku rasa itu adalah sebuah kebiasaan", ujarnya sebelum membasuh mukanya dengan kedua tangannya. Beringsut ke sampingnya, aku menatap ke arah wajahnya yang menyiratkan rasa kebingungan, mungkin?
"Ya. Tidak masalah bagiku", jawabku dengan senyuman simpul. Jujur saja, aku tidak akan menolak jika ia harus menciumku seharian penuh. "Aku akan menggosok gigi lalu kita bisa sarapan", ujarku sebelum berjalan menuju kamar mandi.
Dengan segera aku menggosok gigi dan membasuh wajahku dengan air hangat. Menatap wajahku di cermin, aku mendapati kalung pemberian Nathan masih menggantung dengan sempurna di sekitara leherku.
Wajahnya seketika muncul di balik tubuhku, aku dapat melihatnya dengan jelas dari pantulannya di cermin. Ia memberiku senyuman hangat. "Kau sangat lama. Aku juga ingin menggosok gigi", ujarnya. Terkekeh, aku mengambil sikat giginya.
"Giliranmu, aku akan menunggumu di bawah", ujarku sembari memberikan sikat giginya dan bergegas menuju dapur. Oh, aku belum siap menerima kenyataan bahwa ia akan benar-benar pergi besok.
"Pagi semua", ujarku dengan senyuman lebar, menyapa ibu, Cameron dan Lili yang tengah membuat sereal. "Pagi, sayang", sapa ibu sebelum mengecup keningku. "Dimana ayah?", tanyaku sembari menuangkan jus jeruk ke gelas kosong digenggamanku.
"Ayah sudah berangkat bekerja", jawab Lili. Ia memberiku semangkuk sereal, seakan ia mengerti bahwa aku sangat menginginkan sereal pagi ini. Mengambil 1 mangkuk kosong, aku mengambil sereal untuk Nathan.
"Ibu harus menemui beberapa teman lama ibu", ujar ibu yang tengah menikmati buah apel di genggamannya sembari bermain dengan ponselnya. "Tidak masalah. Aku juga harus berkunjung ke rumah Cam", jawab Lili.
"Oke, lalu apa hanya aku yang akan berdiam diri di rumah bersama dengan pohon natal?", ujarku dengan ekspresi sedih sembari menuangkan susu di mangkuk sereal ku dan Nathan. "Tidak, aku bisa mengajakmu pergi jika kau mau?", suara Nathan seketika membuat kami menoleh ke arahnya yang baru saja memasuki dapur.
"Oh, kau disini! Selamat pagi, Nathan", sapa Lili dengan antusias. Lili memberiku senyuman lebar yang disertai dengan kedipan mata kanannya, membuat ku memutar bola mataku. "Pagi, Nathan. Ku dengar kalian tidak jadi kembali ke London hari ini?", ujar ibu yang sama sekali tidak menatap ke arah Nathan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Like We Did
Teen FictionNathan dan Eleanor, sepasang sahabat yang pada akhirnya menjadi sepasang kekasih, mau tak mau harus menerima kenyataan saat Nathan diharuskan untuk kembali London. Hubungan mereka mulanya berjalan dengan baik-baik saja hingga sesuatu yang tak diingi...