3.Talk

92 11 2
                                    

[Eleanor]

Senyuman masih terukir jelas di bibirku. Kebahagiaan kali ini sangatlah nyata. Pemberian dari Nathan benar-benar membuat hari istimewaku semakin bermakna. Nathan mengaitkan pengaitnya di leher belakangku. Aku bisa menatap senyum bahagia yang terukir di wajah ayah, ibu serta Lili. Aku segera memeluk tubuh Nathan erat, mengalirkan rasa bahagia yang kurasakan agar ia mengerti betapa bahagianya diriku saat ini.

"Kau menyukainya?", bisiknya dengan halus, membuat tubuhku bergidik. Menganggukkan kepalaku, aku enggan untuk menjawab ucapannya karena bisa jadi suaraku sangatlah mengerikan karena terlalu bahagia. Nathan melepas pelukanku dan mengecup keningku. Pipiku memerah, mengingat keluargaku berada tepat di samping kami. Sebenarnya, mereka sudah biasa melihat itu, namun tidak dalam momen seperti ini. Ini adalah momen terindah tahun ini. Tidak perlu mewah, bagiku keberadaan keluargaku dan Nathan, di tambah dengan Adriana, sudah sangat lebih dari cukup, bahkan sudah sempurna. Aku sangat bahagia.

Aku tidak pernah mengagumi sebuah acara mewah, di hiasi dengan banyak bunga, gaun-gaun indah rancangan desainer dunia dan sebagainya. Aku lebih menyukai sesuatu yang sederhana namun terlihat indah dan nyaman. Itu mengapa aku sangat menyukai pemberian Nathan. Tidak mewah, dan sialnya aku tidak peduli berapapun harganya, yang ku pedulikan adalah makna dari hadiahnya yang indah. Bukan berarti aku tidak menyukai hadiah dari keluargaku dan juga Adriana, aku menyukainya, sangat, namun aku tidak pernah memakainya dengan berlebihan. Aku juga hanya membeli barang-barang tersebut jika aku menyukainya, benar-benar menyukainya. Untuk apa aku membayar dengan harga sangat mahal jika aku tidak menyukainya?

Kami melanjutkan melihat acara tv, tidak jarang kami bercanda, membicarakan beberapa pasien ayah yang ternyata juga adalah pasien ibu, hingga akhirnya ayah dan ibu berpamitan untuk tidur lebih dulu. Kami sudah menghabiskan banyak makanan ringan dan beberapa gelas soda. Lili mulai menceritakan tentang seorang pria yang akhir-akhir ini menarik perhatiannya, bernama Cameron, atau yang biasa ia panggil Cam. Ia adalah seorang dokter anak. Usianya hanya berjarak 3 tahun dari Lili. Selang beberapa menit kemudian, Lili menyusul ayah dan ibu saat aku menyadari jam sudah menunjukkan pukul 10:28 malam. Meninggalkanku berdua dengan Nathan. Nathan sudah biasa pulang malam, bahkan terkadang ia tidak pulang dan tidur bersamaku.

"Apa kau lelah?", tanya Nathan yang sedang bersandar di sandaran sofa, kedua kakiku berada di meja. Sedangkan kedua kaki Nathan berada di pangkuanku. "Tidak juga", jawabku singkat, masih memfokuskan tatapanku ke arah tv. Kami sedang melihat serial Netflix yang sedang naik daun, Orange Is The New Black, ada beberapa episode yang tak sempat ku lihat karena aku sibuk dengan beberapa ujian dan tugas. Nathan mengangkat kedua kakinya. Ia berdiri dan berjalan menuju ke arah dapur sembari membawa mangkuk besar kosong yang sebelumnya berisi pretzel.

Tak lama kemudian, aku mendengar suara ponselnya berbunyi di meja ruang keluarga di hadapanku. Mengambil ponselnya, aku melihat sebuah nomor yang tidak ku kenali, Nathan tidak menyimpannya. "Siapa, El?", teriaknya dari arah dapur, menoleh, aku melihat ia berjalan mendekat membawa satu mangkukpenuh dengan popcorn, "Kau tidak menyimpan nomornya", jawabku. Ponselnya terus berbunyi, ia bergegas berjalan ke arahku, menaruh mangkuknya di meja dan mengambil ponselnya di tanganku dengan sigap sebelum berjalan menjauh.

Entahlah, hal ini terjadi lagi. Setelah di kebun binatang dan sekarang di rumahku. Apa yang ia sembunyikan. Sial. Jujur saja, sesungguhnya aku sangat lelah dan mengantuk, namun aku tetap menunggu penjelasannya tanpa mengingatkannya, tentu. Aku menaruh kepalaku di tanganku yang berada di sandaran sofa, memejamkan mataku sejenak sembari mendengar percakapan dari acara tv yang terdengar jelas dari tv. Aku sama sekali tidak mendengar percakapan Nathan dengan siapapun yang menghubunginya.

"Kau mengantuk, El", ucap Nathan saat ia baru saja kembali. "Tidak", jawabku singkat sembari membetulkan posisi dudukku. Nathan kembali duduk di posisinya, menatap ke arahku. Aku pun menatapnya dan beringsut ke pelukannya. Menyandarkan kepalaku di dadanya, menekuk kakiku dan menaruhnya di atas pangkuan Nathan serta melingkarkan kedua tanganku di dadanya yang bidang.

Like We DidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang