36.Accident

64 5 10
                                    

[Eleanor]

Mengenakan cincin pemberian Nathan, aku segera bergegas menghapus air mata yang membasahi pipiku. Sesaat setelah kluar kamar, aku mendapati semuanya masih berada di ruang keluarga, termasuk Nathan.

Rasanya enggan bagiku untuk bergabung dengan mereka setelah kejadian beberapa menit yang lalu. Aku memutuskan untuk ke halaman belakang rumah, duduk di salah satu kursi yang menghadap ke rerumputan.

Memeluk kedua kakiku, aku menyandarkan daguku di atas lutut sembari memainkan cincin pemberian Nathan yang kini sudah melingkar di jari manisku. Sangat indah. Ukurannya pun sesuai. Aku sangat menyukainya.

Air mata rasanya ingin menetes kembali, membasahi pipiku. Dalam sehari bahkan aku sudah tidak bisa menghitung seberapa banyak air mata yang sudah ku keluarkan. Aku sama sekali tidak peduli jika kini mataku nampak seperti zombi karena terlalu banyak menangis.

"El, kami semua akan keluar membeli beberapa kebutuhan untuk malam ini, apa kau mau ikut?", suara hangat Lili berhasil memecahkan lamunanku. Bagaimana ia bisa tau aku berada disini?

Tanpa menjawab, aku hanya menggelengkan kepalaku. Aku merasakan tangannya di pundakku, "Aku tau kau sedang bersedih. Aku akan memberimu waktu untuk sendiri. Nanti malam kau harus menceritakannya padaku. Ayah dan ibu cemas, El", ujarnya.

Aku tidak menjawab. Tatapanku masih terpaku pada rerumputan di halaman belakang rumah kami. Lili mencium keningku sebelum meninggalkanku sendiri bersama dengan angin. Aku mendengar suara pintu terkunci, menandakan semuanya sudah pergi.

Aku menenggelamkan wajahku di antara lutut dan dadaku. Memejamkan kedua mataku. Menarik nafas dalam alih-alih agar aku dapat merasa sedikit lebih tenang. Tetapi semua itu hanya bertahan 1 detik. Hal yang dapat menenangkanku hanyalah Nathan.

"Kenapa kau tidak ikut?", suaranya yang hangat seketika menusuk telingaku. Membuatku dengan sigap mengangkat kepala dan menoleh ke arah suara tersebut berasal.

Benar saja. Tubuh tingginya yang kini hanya dibaluti dengan celana hitam dan kaus sudah berdiri di ambang pintu taman, menatap ke arah jari-jari kakinya yang tengah menari gelisah. Oh, Nathan. Betapa aku ingin memeluk tubuhmu.

Ia sama sekali tidak menatapku. "Tidak ingin", jawabku singkat. Aku kembali meletakkan daguku di lutut, memainkan cincin pemberiannya tanpa henti. Seketika hening. Ia tidak menjawab perkataanku.

"Kau sendiri kenapa masih disini?", tanyaku, berusaha mengajaknya berbicara. "Karena aku harus pulang dan menyiapkan pakaianku untuk besok", jawabannya seketika menghantam hati dan pikiranku, mengingatkanku akan 1 hal yaitu ia harus kembali ke London besok pagi.

Lagi. Aku berusaha menahan air mataku agar tidak mudah turun. Setidaknya tidak untuk saat ini. "Oh", jawabku singkat. Kau tau seberapa sakit dadaku saat ini? Sungguh sakit. Aku bahkan tidak bisa menerima hal menyakitkan lain yang lebih sakit daripada ini.

Suasana menjadi hening kembali. "Terimakasih untuk gitarnya. Aku sangat menyukainya", ujarnya singkat. Memberanikan diri, aku menoleh ke arahnya. Ia menatapku sendu, matanya mengalirkan isyarat tertentu yang tidak bisa ku tangkap dengan cepat.

"Ya. Aku tau kau menginginkannya sejak lama", jawabku. Kami masih saling menatap satu sama lain. Tatapannya berbeda dari yang biasa. Tatapannya kali ini nampak bersedih dan tidak secerah biasanya.

"Baiklah aku harus pulang", ujarnya memecahkan tatapan kami. Saat itu juga jantungku berdegup sangat cepat. Tidak, ku mohon, tidak sekarang. Kupu-kupu yang berterbangan di perutku seakan berteriak agar Nathan tidak pulang.

Hanya bisa diam, aku melihat tubuhnya yang perlahan menjauh. Hanya punggungnya yang kini bisa ku lihat dari kejauhan. Perlahan ia mengenakan jaket yang sebelumnya sudah ia kenakan.

Like We DidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang